"Sekarang juga ibu harus ke rumah sakit besar, Karena fasilitas di sana lebih lengkap. Agar diperiksa dengan lebih teliti mengenai keadaan bayi ibu, di sini tak ada alat USG, hanya detektor ini saja. Semoga bayi ibu masih bisa diselamatkan."
Suamiku lantas memutuskan untuk tak usah pulang ke rumah lagi. Kami langsung ke rumah sakit umum daerah yang tempatnya sekitar setengah jam perjalanan dari sini.
Sesampai di sana, dokter yang memeriksa laki-laki.
Kalau saja boleh memilih, aku ingin dokter perempuan saja, tapi katanya saat ini dokter ahli kandungan yang wanita itu sangat jarang jumlahnya. Kebanyakan malah laki-laki.
Aku pun diperiksa, dan ternyata benar, bayi dalam kandunganku sudah meninggal di dalam perut.
Menurut dokter, harus segera dikeluarkan, Karena usia kematiannya sudah 7 hari , masih beruntung aku selamat, karena pada umumnya, jika lebih 3 hari bisa membuat ibunya keracunan juga.
Aku kembali bertistighfar. Ya Allah, kehendakmulah atas segala sesuatu.
Bayi yag sangat kuidam-idankam harus meninggal pada saat seminggu lagi akan dilahirkan, bayi yang selama ini menghuni rahimku, yang membuat suamiku merasa bangga dan lebih sayang padaku daripada sebelumnya.
Bayi yang membuat siapa pun yang melihatku menaruh rasa simpati dan seolah akan selalu siap membantu.
Ya Allah, bayi ini telah menemani hari-hari mengidamku, hari-hari menjelang tidurku, bakan setiap hari kuajak dia ke mana saja, ke pasar, ke rumah orantua atau mertuaku, menemani memasak, mencuci, kini ia harus meninggal tanpa sempat sedetik pun menghirup udara sama sekali.
Sebersit rasa sesal dan bersalah menghampiriku. Ibu macam apa aku? Yang tak bisa merawat bayi sendiri hingga terjadi hal seperti ini.
"Pak Dokter, kira-kira apa penyebabnya, Pak? Apakah karena kemarin itu saya jatuh ya, Pak?"