(Cerpen ini dimuat dalam buku Antologi Kumpulan Cerpen Senyum Bidadari, 2015, bersama kawan-kawan di LovRinz and Friends)
Malam belum larut. Aku menangis terguguk di hadapan suamiku.
"Jangan sakiti diri sendiri, Hanum," ucap lelaki itu. Â Tangannya lembut mengusap bulir yang mengalir dari kedua bola mataku.
"Aku takut, Mas. Aku tak ingin melihat Mas dan keluarga porak karena aku," kataku meyakinkannya, sekaligus juga meyakinkan diri sendiri.
 "Ini yang sangat kusesalkan. Kita tak pernah tahu takdir Allah atas diri kita bukan?" katanya lagi menatapku dalam-dalam.Â
"Tapi, tadi siang, Mas ...."Â
"Mengapa harus porak? Belum tentu. Â Kita tidak bisa mendahului takdir," sahutnya cepat menahan gerak bibirku dengan jemarinya."
Ya Allah. Takdir. Apakah kesediaanku menerima pinangan Mas Ikmal dua bulan lalu itu takdir? Dan rela menjadi istri kedua, itu juga Allah yang mengatur? Apakah nantinya anak istrinya pergi meninggalkannya dan membenciku secara abadi itu pun takdir? Apakah aku masih bisa dikatakan memegang ukhuwah Islam? Ah, entahlah.Â
"Siapa yang mengira kita bisa berjumpa dan berjodoh seperti ini? Bukankah Allah juga yang mengaturnya?" tanyanya. Suaranya halus sekali.
Dadaku bergemuruh. Entahlah. Tadi siang istri pertama Mas Ikmal datang. Ia mengatakan banyak hal. Tentang perhatian Mas Ikmal yang tebagi. Juga masalah keuangan. Dan yang terutama, tentang aku yang dikatakannya sudah memberi sekat antara Mas Ikmal dengan kedua putri mereka.
"Entahlah, Mas. Aku tidak mau menyakiti hati wanita-wanitamu. Kita sudahi saja pernikahan ini." Dengan susah payah kuucapkan kalimat itu.