Mohon tunggu...
Nuri Nura
Nuri Nura Mohon Tunggu... lainnya -

Ceritakan padaku tentang Ayah, hujan, pulang, buku, dan makan. Aku senang dengan semua letupan rasa yang ditimbulkannya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dayamulli' dan Laelara'

23 April 2011   19:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:28 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13035094862076487443

Di sebuah kampung pesisir laut bernama Dusun Tamparang  hiduplah seorang nelayan bersama istri dan kedua anaknya. Mereka hidup sederhana dari hasil melaut. Suatu masa, saat lautan terus menerus diamuk badai, satu persatu nelayan beralih mencari kehidupan ke sungai. Setelah beberapa hari makan tanpa lauk, akhirnya sang nelayan berhasil menangkap seekor belut dan membawanya pulang. Dipesan kepada istrinya untuk menggoreng belut  tersebut untuk disantap dengan nasi kemudian.

Alangkah terkejutnya sang nelayan ketika pulang mendapati belut besar yang dia bayangkan bisa disantapnya sampai kenyang ternyata hanya tersisa seperduanya.

“Kenapa na sisa begini ?” kata sang nelayan dengan sangat marah

“Memang begitu, Daeng. Waktu digoreng langsung memang ji mengecil” jelas istrinya ketakutan.

Tapi sang nelayan tidak percaya. Dia menuduh istrinya telah memakannya separuh lalu menyisakan setengah untuknya. Dia terus memaki dan menumpahkan kekesalannya dengan menghamburkan seisi meja. Istri nelayan yang sakit hati dan tidak terima dituduh berbohong, hanya mampu menangis dan memutuskan untuk tinggal di batu karang pantai.

Si bungsu anak nelayan bernama Laelara’ sakit karena lama menangis hendak menyusu. Kakaknya, Dayamulli’, lalu menggendongnya ke pantai mencari ibunya. Ditemukannya ibunya menangis di antara batu-baru karang dan menolak diajak pulang. Bahkan ketika sang nelayan yang ternyata diam-diam membuntuti juga minta maaf dan menyesal telah menuduhnya, tetap sang istri menolak untuk pulang. Hatinya luka dalam, dan dia memilih tetap berada di karang pantai itu.

Keesokan harinya. Dayamulli’ datang lagi membawa Laelara’ yang kelaparan. Setelah mencari kemana-mana, didapatinya ibunya telah semakin turun ke arah laut. Kaki-kakinya telah ditumbuhi sisik hingga batas paha.

“Besok-besok, kalau Laelara’ menangis lagi mau menete’, menyanyimo ko, Nak. Nanti mama’ datang” pesan ibunya.

Benar adanya, beberapa hari kemudian, Dayamulli’ tidak lagi menemukan ibunya di mana-mana. Sementara Laelara’ terus menangis sampai tubuhnya memerah. Di tengah putus asa, Dayamulli’ teringat pesan ibunya, dan mulai menyanyi.

Oooo male’... male’, maka nai’ maki’ mae. I Laelara’ maka parra’mi karro’-karro’na

(Wahai ibu..ibu...naiklah kesini. Si Laelara’ telah sangat  asin tenggorokannya)

Suara Dayamulli’ menyanyi menyentuh hati lautan. Ombak yang tadinya bergemuruh perlahan menjadi tenang. Lalu munculah ibunya dari dasar lautan. Perih hati Dayamulli’ melihat ibunya telah menjelma menjadi manusia ikan, dan sisik semakin banyak hingga mencapai bawah dadanya. Selama beberapa bulan, setiap hari, Dayamulli’ terus datang ke laut demi memenuhi kerinduan adiknya pada air susu ibunya. Nyanyiannya yang menenangkan gemuruh ombak, membuat para nelayan berani lagi melaut dan kehidupan kampungnya menjadi lebih baik. Namun tak lama kemudian, sang ibu tidak dapat lagi menyusui anaknya karena sisiknya membuat air susunya menjadi asin.

“Laelara’ sudah tidak bisa menete’ lagi sama mama’. Ajarkan dia minum air beras jika lapar, dan kau menyanyilah kalau dia menangis. Mama’ tidak bisa lagi lama di daratan. Mama’ sudah menjadi ikan”

“Jadi siapa yang menjaga kami, Ma’ ? Bapak juga sudah meninggal karena sakit. Bapak menyesal karena mama’ tidak mau pulang”, Dayamulli’ menangis sesunggukan. Anak beranak itu berangkulan dan menangis. Airmata ibu mereka yang jatuh dan tertampung di kulit kerang kemudian dia selipkan di kain penutup Laelara’. “Simpan mi ini sebagai kenang-kenangan. Mulai sekarang kau yang harus menjaga andi’nu. Mama’ akan berdoa dari laut”. Ibu duyung pun berenang menjauh, meninggalkan Dayamulli’ dan Laelara’ yang masih menangis tersedu-sedu.

Dayamulli’ tumbuh menjadi gadis yang jelita, begitupun Laelara’ perlahan tumbuh menjadi pemuda kecil yang senantiasa menjaga kakaknya. Dayamulli’ bekerja menjadi penenun sutra, sementara Laelara’ berburu di hutan. Suatu hari, saat rombongan raja menemukan Laelara’ sindirian di hutan, sang raja jatuh hati pada ketampanan Laelara’ dan hendak menjadikannya pangeran. Raja tidak mengindahkan permintaannya untuk menjemput kakaknya terlebih dahulu. Sambil terus meronta, Laelara’ menangis sepanjang jalan memanggil kakaknya. Air matanya yang jatuh ke tanah menumbuhkan pohon-pohon kecil yang mengikuti jejak rombongan raja.

Berhari-hari Dayamulli’ menunggu, namun adikknya tak juga pulang. Tak satupun yang mengetahui keberadaannya. Sampai suatu hari dia memutuskan untuk mencarinya sendiri. Ditemukannya pohon-pohon kecil yang tumbuh teratur seperti menuntunnya ke suatu tempat. Dayamulli’ terus berjalan mengikuti arah pohon-pohon kecil itu, yang kemudian berakhir di lautan. Di sana Dayamulli’ kembali menangis karena tidak ada lagi pohon kecil sebagai petunjuk. Lalu ia teringat ibunya yang telah menjadi penghuni lautan. Dayamulli’ pun mulai menyanyi.

Oooo male’... male’, maka nai’ maki’ mae. I Laelara’ maka parra’mi karro’-karro’na

(Wahai ibu..ibu...naiklah kesini. Si Laelara telah sangat  asin tenggorokannya)

Ibunya pun kembali muncul. Dalam pelukan ibunya, Dayamulli’ menceritakan semuanya.

“Andi’nu dibawa raja ke negeri seberang lautan. Tenun ko sutra hijau yang panjang. Pake itu airmata yang dulu mama’ kasih ” pesan ibunya sebelum pergi. Dayamulli’ lalu pulang dan mulai menenun. Berhari-hari dia tidak makan demi menyelesaikan tenunan sutranya. Sampai suatu hari tenunan itu selesai. Dibalutkannya sutra itu ke seluruh tubuhnya lalu meneguk air mata ibunya dari dalam kerang. Dayamulli’ kemudian menjelma menjadi burung nuri.

Laelara’ kini telah tumbuh menjadi pangeran muda yang tampan juga berani. Dia disanjung dan dipuja di seantero negeri. Hal ini membuat putra mahkota menjadi iri hati. Padahal raja menyayangi mereka berdua tanpa melebihkan satu dari yang lainnya. Saat raja mulai sakit-sakitan dan mulai memilih pengganti, putra mahkota menolak keberadaan Laelara’ sebagai kandidat raja. Akhirnya, raja yang bijak pun memutuskan untuk melakukan pertandingan yang mana pemenangnya akan diangkat menjadi raja di depan masyarakat yang menyaksikan.

Persaingan seru membuat negeri itu menjadi ramai dan dikunjungi banyak orang. Berita pertandingan ini pun telah tersebar luas sehingga banyak yang  berkunjung dari negeri-negeri seberang. Laelara’ dan putra mahkota mendapat nilai berimbang dalam pertandingan-pertandingan besar seperti bertarung, berkuda, memanah dan bermain pedang. Mereka nyaris sama hebatnya. Makin serulah pertandingan itu karena tak seorang pun mampu mengira siapa yang yang akan menjadi pemenangnya.

Suatu pagi, raja yang tengah sakit itu melihat seekor burung nuri bertengger di jendelanya. Nyanyian burung itu membuat raja merasa senang. Warna bulu-bulu hujau di tubuhnya sungguh indah, membuat raja merasa penglihatannya menjadi lebih segar. Dia pun memutuskan, barang siapa yang bisa menangkap burung nuri itu untuknya, dialah yang akan menjadi raja.

Putra mahkota mencoba, namun gagal. Burung nuri itu nampak tenang, namun tiap kali di dekati, dia melompat dan terbang. Bahkan raja-raja dan pangeran negeri seberang yang awalnya hanya datang untuk menonton pertandingan, menjadi tertantang untuk menangkap burung itu. Semua terpana dengan keindahan bulunya dan merdu nyanyiannya.

Lalu Laelara’ mencoba peruntungannya. Ditatapnya mata burung nuri itu dalam-dalam, lalu perlahan dia disusupi rasa kerinduan yang nyaris dia lupakan. Ada mata ibu yang di rindunya, juga mata kakak yang entah di mana rimbanya. Laelara’ kemudian berlutut dan bernyanyi,

“Nakkukku ri katte amma’...nakkukku’ ri katte Daeng. I nakke Laelara’, anak kukang ri linoa kamase”

(Betapa aku rindu padamu ibu, rindunya aku padamu kakak. Ini aku Laelara’, anak sebatangkara di dunia)

Burung nuri itupun menangis, lalu meloncat ke arah Laelara’, bertengger di bahunya. Raja dan para penonton terkesima melihat betapa burung itu begitu jinak padanya. Akhirnya Dayamulli’ melepaskan balutan sutra hijaunya dan kembali menjelma menjadi manusia. Oleh raja dia diangkat menjadi putri istana, menikah dengan putra mahkota, dan memenami adiknya Laelara’ yang tengah dipersiapkan menjadi raja.

* * * * *

 

Dongeng oleh Nuri Nura (Nomor Urut 42)

Ilustrasi oleh Gubes

 

UNTUK MEMBACA TULISAN PARA PESERTA PARADOKS YANG LAIN MAKA DIPERSILAKAN MENGUNJUNGI AKUN Dongeng Anak Nusantara di Kompasiana sbb  : Dongeng Anak Nusantara 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun