Mohon tunggu...
nuril huda
nuril huda Mohon Tunggu... -

ada apanya, apa adanya...

Selanjutnya

Tutup

Politik

SARA dan “Istikharah Politik”

5 Agustus 2012   15:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:13 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SARA DAN “ISTIKHARAH POLITIK


Isu SARA kembali naik ke permukaan, selepas raja dangdut, Haji Rhoma Irama, dalam suatu tausiyah dakwah di suatu masjid, menyerukan agar kaum muslimin memilih pemimpin yang seiman. Meski tidak terus terang menyebut nama, publik mafhum, jamaah diharapkan untuk tidak memilih Ahok yang non muslim, dalam putaran kedua pilkada Jakarta.


Seruan Rhoma, dalam konteks yang lain mungkin mirip, dengan himbauan beberapa Bupati di jawa tengah, beberapa waktu lalu, yang menyeru agar warga mereka di Jakarta, lebih memilih Jokowi. Sebagai etnik terbesar, termasuk di DKI, suara masyarakat Jawa tentu signifikan.


Dalam konteks lain juga, kita juga kerap mendengar sinyalemen atau analisis, seperti misalnya prediksi sejumlah pengamat politik, bahwa probabilitas terbesar sosok yang akan menjadi presiden pada 2014 kelak, adalah tetap dari suku jawa.
Mayoritas masyarakat etnik jawa mungkin akan lebih memilih figur yang sesuku. Untuk yang terakhir ini variabel probabilitasnya mungkin bisa ditambah --- peluang lebih besar menjadi presiden 2014 kelak adalah dari etnis jawa dan pemeluk islam. Tentu saja ini tidak lantas dipahami sebagai penghinaan atau mengkerdilkan peluang etnik minoritas dan agama lain. Calon yang lain tidak mesti lantas kecut dan berkecil hati.


Dalam kasus tausiyah Rhoma, pandangan publik setidaknya terbelah dalam dua belahan. Sebagian kalangan merajuk, Rhoma telah bersikap sara, melanggar UU, dan buntutnya akan dipanggil panwaslu. Bahkan sebagian media mengutip pelanggaran Rhoma bia dikenakan penjara dan denda.


Sebagian kalangan lain menilai sikap Rhoma adalah wajar, tdak belebihan alias tidak ada ketentuan yang dilanggar, karena dirinya hanya mengingatkan dan menyeru jamaah di masjid, yang tentu saja homogen keyakinannya, bahwa sesuai ajaran yang diyakininya, untuk lebih mengutamakan pemimpin dari kalangan yang simteris keyakinannya. Apalagi Forumnya pun dalam masjid, dan Rhoma juga tidak sedang kampanye karena dirinya bukan jurkam resmi salah satu pasangan yang sedang berkontestasi dalam pilkada jakarta.


Bagi pandangan kedua ini, Rhoma bukanlah provokator yang sedang memprovokasi atau memanasi situasi menjelang putaran kedua pilkada DKI. Sehingga tidak tepat mengkategorikan tausiyahnya sebagai pelanggaran SARA, yang dalam konteks ini mungkin dimaksudkan sebagai sikap provokator yang menggosok-gosok emosi orang, atau menggiring orang berfikir sexis dan sektarian, menanamkan kebencian antara kelompok agama.

“ISTIKHARAH POLITIK”

Yang terjadi adalah jauh dari kategori tersebut. Rhoma adalah seniman, yang sejatinya sedang mengeskpresikan suara batinnya, mendendangkan hatinya, sebagaimana lagu-lagunya yang bernuansa relijius, yang menyeru kepada sikap iman yang jujur dan tulus. Dirinya sadar bahwa jamaah kaum muslim musti jujur dalam menjatuhkan pilihan politik. Mungkin bagi Rhoma, dalam pilkada putaran kedua, agar pilihan umat berdimensi ibadah dan tidak semata-mata wujud ekspresi demokrasi sekuler, maka kaum muslimin perlu melakukan “istikharah politik”.

Ekspresi bahasa agama dalam politik, dengan demikian, sejatinya lebih tepat dipandang sebagai bagian dinamika demokrasi, bukan masalah SARA. Cara pandang sempit SARA atas ekspresi demokrasi, justru mengebiri demokrasi. Apalagi ekspresi bahasa agama dalam politik, bukanlah barang baru. Variasi ekpresi politik dalam aneka jalur demikian justru bisa mencerminkan kekayaan kazanah dan multikultuarlsime bangsa kita, yang akan semakin memperkaya wajah ekpresi demokrasi kita yang warna warni, bukan demokrasi yang monolitik, linear dan kaku. Sikap demikian lebih relevan dengan wacana demokrasi sebagai produk politik dari eskpresi massal berbagai aneka individu publik yang anekawarna.


Memvonis suara hati Rhoma sebagai SARA adalah cara pandang yang khas orde baru. Cara pandang yang sudah saatnya diperbarui, karena terbukti tidak relevan lagi.


Dalam warisan orba, SARA haram disinggung. Bahwa SARA adalah isu dianggap amat peka, rentan konflik berdarah-darah, dan karena itu berbahaya dan haram disinggug. Lantas bayangan kita pun merujuk pada konflik kekerasan Ambon, konflik etnis dayak, kasus kerusahan Mei 1998, kasus pembakaran gereja 2000 dll. Untuk sekedar menyebut contoh sejumlah kasus kekerasan sosial dan konflik berdarah yang menimbulkan kerugian tak terperi, baik material mental dan sosial, yang kental dengan nuansa SARA.


Cara pandang orba dalam memperlakukan isu SARA terbukti tidak menyelesaikan masalah. Anggapan SARA identik dengan konflik demikian itu tidak ada manfaatnya untuk pengembangan kehidupan keagamaan bersama secara damai, terbuka, dan demokratis.
Dalam sejumlah kasus konflik dan kerusuhan sosial yang pernah mengharu biru bangsa kita, secara post factum, analisis dampak (impact survey) paska kejadian, diketahui muncul dan menyeruak justru akibat kebijakan dan situasi obyektif di lapangan yang tidak langsung terkait SARA. Anggapan ataupun keyakinan bahwa hubungan antara kelompok etnis dan kelompok agama penuh dengan potensi dan kemungkinan konflik, ternyata tidak terbukti.


Menjadi menarik dipertanyakan, mengapa kita sebagai bangsa, seolah menerima begitu saja secara mentah-mentah, taken for granted, bahkan seolah menerima sebagai kebenaran, bahwa hubungan antaretnis dan antara agama di Indonesia demikian sensitif dan penuh risiko, sehingga ketika sebagian kalangan menjadikan isu keagamaan dan ras sebagai bagian dari ekpresi (sosial, politik, budaya) yang mengental segera terbayang dalam ruang imagisnasi kita adalah bayangan kekerasan dan konflik berdarah-darah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun