Di tengah era digital dan modernisasi yang pesat, Generasi Z tumbuh dengan pola
pikir yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka dibesarkan di tengah
kemajuan teknologi, terbiasa mengakses informasi secara instan, dan memiliki
kecenderungan untuk berpikir logis serta mempertanyakan segala sesuatu termasuk
tradisi. Salah satu tradisi yang kini mulai mendapat sorotan dari generasi ini adalah
pantangan-pantangan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun.
Pantangan seperti larangan menyapu malam hari, duduk di depan pintu, atau bersiul
di malam hari bukan hal asing bagi masyarakat Indonesia. Pantangan ini diwarisi
dari leluhur, mengandung nilai-nilai tertentu yang berkaitan dengan etika, sopan
santun, hingga kepercayaan mistis. Bagi generasi yang lebih tua, pantangan ini
merupakan bagian dari jati diri budaya yang harus dihormati. Namun, bagi Generasi Z,
tidak semua pantangan bisa diterima begitu saja. Sebagian besar dari mereka
memilih bersikap kritis dan selektif. Jika sebuah pantangan dirasa tidak memiliki
alasan yang masuk akal, maka akan ditinggalkan. Misalnya, larangan menyapu
malam hari akan dipertanyakan: apakah menyapu di malam hari benar-benar
mendatangkan kesialan? Jika tidak ada penjelasan rasional, maka tradisi tersebut
dianggap hanya sebagai mitos.
Namun di sisi lain, tidak semua dari Generasi Z serta-merta menolak tradisi. Ada
juga yang tetap menjalankan pantangan, bukan karena percaya sepenuhnya, tapi
karena menghormati orang tua, menjaga keharmonisan keluarga, atau sekadar
mengikuti adat saat berada di lingkungan yang masih menjunjung nilai budaya. Dalam
hal ini, mereka menunjukkan bahwa nilai budaya tetap bisa hidup jika dijalankan
dengan kesadaran, bukan paksaan.
Pihak yang pro terhadap pelestarian pantangan tradisional melihat bahwa tradisi
merupakan bagian dari identitas bangsa yang harus dijaga. Mereka meyakini bahwa
pantangan tidak hanya mengandung unsur mistis, tetapi juga nilai-nilai sosial seperti
kedisiplinan, penghormatan terhadap orang lain, dan etika pergaulan. Tradisi
dianggap sebagai perekat hubungan antargenerasi dan pondasi moral masyarakat.
Di sisi lain, pihak yang kontra terhadap pantangan tradisional merasa bahwa banyak
dari larangan tersebut tidak relevan dengan kehidupan masa kini. Generasi muda
merasa perlu adanya penyesuaian nilai-nilai budaya agar sesuai dengan logika dan
nalar. Mereka menolak menjalankan pantangan yang dianggap membatasi
kebebasan berpikir atau bertindak tanpa alasan yang jelas.
Sikap kritis seperti ini bukan berarti menolak budaya, melainkan upaya untuk
memahami dan menyaring mana yang masih bermanfaat dan mana yang perlu
ditinggalkan. Justru di sinilah pentingnya peran keluarga dan pendidikan. Jika sebuah
pantangan bisa dijelaskan dengan baik misalnya larangan duduk di depan pintu agar
tidak menghalangi jalan orang lain maka Generasi Z pun akan lebih mudah
menerimanya. Perbedaan cara pandang antara generasi tua dan muda adalah hal
yang wajar. Yang terpenting adalah membangun ruang dialog yang sehat dan saling
menghargai. Generasi tua tidak perlu memaksakan tradisi tanpa penjelasan,
sementara generasi muda pun perlu membuka diri untuk memahami makna di balik
budaya yang telah diwariskan.
Melalui pendidikan yang komunikatif, nilai-nilai budaya bisa disampaikan dengan
cara yang lebih kontekstual dan relevan. Dengan begitu, tradisi tidak akan punah,
tapi justru bisa berkembang seiring zaman. Generasi Z bisa menjadi pelestari
budaya, bukan karena kewajiban, tapi karena mereka memahami dan menghargainya
secara sadar. Akhirnya, mempertahankan tradisi bukan berarti menolak perubahan.
Begitu pula berpikir logis bukan berarti menolak warisan budaya. Jika keduanya bisa
berjalan berdampingan, maka kita tidak hanya menjaga masa lalu, tetapi juga
membangun masa depan yang berakar kuat dalam identitas bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI