Bayangkan tengah malam di kamar kos: layar laptop masih menyala, notifikasi grup kelas berdenting, dan tubuh sudah lelah tapi otak tetap dipaksa bekerja. Mahasiswa di era digital hidup dalam pusaran deadline yang tak pernah berhenti. Tugas kuliah, organisasi, hingga ekspektasi sosial bercampur menjadi tekanan yang perlahan menggerus kesehatan mental.Â
Teknologi: Penolong yang Berbalik Menjadi Beban
Tak bisa dipungkiri, teknologi mempermudah akses belajar, dari e-learning hingga referensi jurnal hanya dalam sekali klik. Namun, kemudahan ini datang dengan harga: banjir informasi yang sulit dikendalikan. Penelitian Wang et al. (2023) menunjukkan bahwa paparan berlebihan di media sosial justru meningkatkan kecemasan mahasiswa, karena terlalu banyak informasi yang harus diserap dalam waktu singkat. Smith et al. (2021) bahkan menemukan rata-rata mahasiswa menerima ratusan notifikasi dalam sehari. Alih-alih produktif, mereka justru sering merasa kewalahan dan tidak tahu harus mulai dari mana.
Deadline dan Multitasking: Dua Pisau Tajam
Deadline memang bagian dari dunia akademik, tapi di era digital, beban itu terasa berlipat ganda. Mahasiswa dituntut multitasking---menyelesaikan tugas, menghadiri rapat online, aktif di organisasi, sekaligus tetap hadir di media sosial. Kondisi ini memicu stres kronis yang berujung burnout. Studi Juniar et al. (2022) di Indonesia membuktikan bahwa mahasiswa yang mengikuti intervensi manajemen stres berbasis daring mengalami penurunan tingkat stres signifikan. Artinya, masalah ini bukan sekadar keluhan, tapi nyata dan bisa diatasi jika ditangani dengan pendekatan yang tepat.
Jejak Stres yang Nyata
Kombinasi tekanan deadline dan distraksi digital biasanya muncul dalam wujud sehari-hari yang sederhana, tapi dampaknya besar. Banyak mahasiswa mengaku sulit tidur karena tetap terjaga bersama gadget, bahkan ketika mata sudah berat. Konsentrasi pun menurun karena perhatian terpecah ke banyak arah. Perasaan cemas, lelah mental, hingga academic burnout menjadi semakin umum. Osman et al. (2025) menegaskan bahwa mahasiswa yang menghabiskan lebih dari tiga jam sehari di media sosial lebih rentan mengalami insomnia, kecemasan, dan penurunan motivasi belajar.
Merawat Diri: Keseimbangan yang Harus Diperjuangkan
Meski begitu, mahasiswa bukan tanpa harapan. Ada banyak langkah kecil yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan mental. Mengatur prioritas dan membuat jadwal realistis bisa membantu mengurangi rasa kewalahan. Membatasi notifikasi dan menetapkan jam bebas gadget memberi ruang bagi otak untuk beristirahat. Teknologi juga bisa dimanfaatkan secara positif, misalnya dengan mengikuti aplikasi atau modul kesehatan mental daring. Yang terpenting, mahasiswa perlu belajar self-compassion menerima bahwa tidak apa-apa untuk tidak selalu produktif, memberi waktu bagi diri sendiri untuk bernafas, tertawa, atau sekadar menikmati hobi sederhana.
Deadline akan selalu ada, dan era digital tidak akan melambat. Tapi ada satu hal yang harus selalu diingat: diri kita sendiri. Menjaga kesehatan mental bukanlah tanda kelemahan, melainkan fondasi agar kita bisa terus melangkah, berkarya, dan bertahan di dunia yang semakin cepat.
Referensi