Mohon tunggu...
Nurhayati
Nurhayati Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis biasa

Penulis biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Interpretation of Women's Leadership: Kartini Bolehkah Menjadi Seorang Pemimpin?

21 April 2023   11:33 Diperbarui: 21 April 2023   11:40 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dewasa ini, masalah perempuan dan gender mendapat tanggapan yang luar biasa baik dari kalangan akademisi, intelektual, maupun agamawan di dunia Islam khususnya. Kaitan tentang perempuan dan agama tidak terlepas dari pengamatan para ahli tafsir yang selalu memberikan interpretasi nyata terhadap peran perempuan, khususnya di bidang leadership atau biasa disebut kepemimpinan. Banyak dalil hadist maupun Al-Qur'an yang dijadikan hujjah untuk merumuskan hukum dalam konteks kepemimpinan. Oleh karena itu, penulis akan mencoba memberikan kerangka berpikir yang dikaitkan dengan interpretasi Al-Qur'an dan Hadits dalam memaknai kepemimpinan perempuan. Namun perlu digaris bawahi bahwa penulis sendiri memiliki pandangan bahwa tidak di semua sektor atau lini kehidupan seorang perempuan bisa mengambil peran untuk menjadi seorang pemimpin. Oleh karena itu, tulisan ini akan berfokus pada bagaimana peran perempuan dalam sektor kepemimpinan di sebuah organisasi kemahasiswaan.  Happy reading....

"Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita" ~HR. Bukhari.

Hadits tersebut adalah salah satu alasan kuat untuk menolak kepemimpinan perempuan. Tidak salah jika hadis tersebut dijadikan sebagai hujjah atau landasan terhadap kepemimpinan bagi seorang perempuan. Namun dilihat dari Asbabul Wurud hadits tersebut lebih bersifat khusus.

Asbabul wurud hadits tersebut ialah ketika  kisra (salah satu bagian dari negeri-negeri Persia) mengangkat anak perempuan Kisra sebagai pemimpin. Namun, ia kurang sukses dalam memimpin kerajaan. 

Konteks hadis ini lebih berfokus pada pemimpin sebuah kerajaan sehingga banyak hal yang harus diemban oleh pemimpin perempuan tersebut. Sektor pemerintahannya luas. Namun jika hadits tersebut dijadikan hujjah untuk anti pemimpin perempuan dalam organisasi kemahasiswaan maka tidak cocok. Karena sektornya jelas, hanya berfokus pada kemahasiswaan. Selain itu, konteks hadits tersebut berbeda dengan kajian yang dikritik dalam dunia yang sudah modern ini. Kelayakan menjadi pemimpin bukan karena jenis kelamin, namun kompetensi dan kecakapan yang ada dalam diri seorang pemimpin.

Alasan lain yang menguatkan konsep interpretation of women's leadership adalah :

Pertama, laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba. Hal ini berdasarkan Firman Allah Swt. dalam Qs. Al-Nahl : 97 bahwa "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya Kami akan beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

Ayat di atas memaparkan bahwa dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapat balasan dan penghargaan dari Allah Swt sesuai dengan kadar pengabdiannya. Sama halnya jika pengabdian dilakukan dengan menjadi seorang pemimpin yang koridor kepemimpinannya masih berada pada level mahasiswa maka sah-sah saja. Selain itu, ayat di atas erat kaitannya dengan makna bahwa laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi. 

Artinya, ini adalah konsep kesetaraan yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spritual maupun urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Oleh karena itu, jika prestasi ideal seorang perempuan memilih untuk menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi kemahasiswaan maka sah-sah saja. Karena hal tersebut bisa diharapkan menjadi dobrakan untuk membangun sebuah organisasi yang lebih berkemajuan.

Kedua, laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah di bumi, hal ini dijelaskan dalam Qs.Al-Baqarah:30 bahwa " Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi........"

Kata "khalifah" pada ayat di atas tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan. Oleh karena itu, ketika seorang perempuan memilih untuk menjadi seorang pemimpin maka dia harus mampu mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Hal utama yang harus dipenuhi dalam hal ini adalah "Berilmu". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun