Mohon tunggu...
Nur Hasanah
Nur Hasanah Mohon Tunggu... Guru - Menyelami dan meneladani makna kehidupan

Yakin Usaha Sampai

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Transendental Pemikiran Rene Descartes dalam Aliran Filsafat Rasionalisme

16 Desember 2019   12:01 Diperbarui: 21 Juni 2021   10:08 5194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transendental Pemikiran Rene Descartes dalam Aliran Filsafat Rasionalisme. | Sumber gambar: knappily.com

Menurutnya berfilsafat adalah melontarkan persoalan metafisis untuk menemukan sebuah fundamen yang pasti yaitu titik yang tidak bisa goyah seperti aksioma matematika. Untuk menemukan titik kepastian itu Descartes mulai dengan sebuah kesangsian atas segala sesuatu. Umpamannya dia mulai dengan menyangsikan apakah asas-asas matematika dan pandangan-pandangan metafisis yang berlaku tentang dunia material dan dunia rohani itu bukan tipuan belaka dari semacam iblis yang sangat cerdik (genius malignus). Semakin kita dapat menyangsikan segala sesuatu entah kita sungguh ditipu atau ternyata tidak, termasuk menyangsikan bahwa kita ini nyata. Menyangsikan adalah berpikir maka kepastian akan eksistensi di capai dengan berpikir, Descartes kemudian mengatakan "aku berpikir maka aku ada"( cogito ergo sum).

Baca juga: Dimensi Filsafat, Paham Rasionalisme dan Empirisme

Adapun yang ditemukan dalam metode kesangsian adalah kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu cogito atau kesadaran diri. cogito itu kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan karena mengertikannya secara jelas dan pilah-pilih. Cogito tidak ditemukan dengan metode deduktif dari prinsip-prinsip umum atau dengan intuisi. Cogito ditemukan dengan pikiran sendiri, sesuatu yang dikenali melalui dirinya sendiri, tidak melalui kitab, dongeng, pendapat orang prasangka dan sebagainnya, tetapi kesangsian ini hanya sebuah metode untuk menemukan dasar yang kokoh untuk kenyataan. (Hardiman, 2004: 37-39)

Pemikiran Descartes tentang idea-idea bawaan dan subtansi. Kesangsiaan metode sudah menemukan cogito yakni subjektivitas, pikiran atau kesadaran. Lalu ia menyebut pikiran sebagai idea bawaan yang sudah melekat sejak kita dilahirkan ke dunia, dia menyebutnya  res cogitans. Dalam kenyataan. Descartes mengatakan bahwa aku berpikir maka ada, maka pikiran adalah suatu subtansi yaitu kenyataan yang berdiri sendiri dan disebutnya jiwa. 

Tentang keluasan atau kejasmanian, Descartes mengatakan bahwa mustahil Allah yang maha benar itu menipu kita tentang adanya kejasmanian. Karena itu materi adalah juga suatu subtansi. Akhirnya Allah sendiri suatu subtansi, maka Allah itu ada. Menyimpulkan bahwa kita memiliki idea Allah maka Allah ada disebut argumen ontologis. Di sini Descartes termasuk filsuf yang membuktikan adanya Allah.  Descartes sebetulnya mengandalkan bahwa adanya Allah menjadi ukuran segala pengetahuan, termasuk menjamin aku yang menyangsikan dapat mencapai kebenaran.

Terkait hubungan jiwa dan badan. Descartes mengatankan bahwa ia terdiri dari dua subtansi yakni jiwa dan materi atau badan jasmaniah, kemudian ia membedakan manusia dari hewan pada rasio, yakni tak lain daripada jiwa, manusia yang paling dungu sekalipun menunjukkan kebebasan karena memiliki jiwa hewan, sebaliknya menunjukkan perilaku otomatis, sebab tidak memiliki jiwa. Yang sama pada manusia dan hewan adalah tubuhnya, maka tubuh manusiapun sebetulnya bersifat otomatis, tidak bebas, tunduk pada hukum-hukum alam.

Descartes menyebut badan sebagai I' home machine atau mesin yang bisa bergerak sendiri. Pandangan antropologis Descartes disebut dualisme yakni pandangan yang menganggap bahwa jiwa dan badan adalah dua realitas terpisah. Descartes menunjuk sebuah kelenjar kecil di otak sebagai semacam jembatan, namanya glandula pinealis, adanya kelenjar ini memungkinkan tubuh manusia berjingkrak-jingkrak atau berjalan lunglai, sementara jiwanya gembira atau bersedih.

Dalam hal etika, Descartes menekankan pentingnya mengendalikan hasrat-hasrat dalam badan, sehingga jiwa semakin menguasai tingkah laku, dengan cara itu manusia menjadi makhluk yang memiliki kebebasan spiritual. Hasrat atau nafsu dimengerti sebagai keadaan pasif dari jiwa. Descartes beranggapan bahwa otonomi manusia tidak pernah mutlak, sebab kebebasannya dituntun berdasarkan penyelenggaraan Ilahi.

Terkait pengaruh dan problem pemikiran Descartes mewariskan sebuah problem mendasar dengan cogito dia mengendalikan bahwa pikiran atau kesadaran kita sendiri (refleksi diri). Kita mengenal kenyataan diluar diri kita teori seperti ini disebut repsentasionisme. Seperti permasalahan lukisan belum tentu menampilkan kenyataan, jurang antara pikiran dan kenyataan, diluarnya masih menganga. (Hardiman, 2004: 40-42).

Jadi sejauh ini descartes hanya membedakan antara benda yang diterima dengan jelas dan disting oleh pikiran dari benda sebagai yang diterima dengan kabur dan kacau oleh indera. Pemikiran Descartes bisa dikatakan lebih menekankan subjektif dari objek idera yang tidak hanya sifatnya yang kacau, ia tidak hanya mengatakan objektivitas dari hal yang ditangkap indera kabur tetapi hal tersebut tidak diketahui sama sekali. Baginya hal yang ditangkap dengan indera sama seperti mimpi yang terpotong dari kenyataan lepas serta kesadaran kita mengenai kenyataan dari yang lain hanya merupakan kerja pikiran. (Hadi, 1994: 42)

Baca juga: Aliran Filsafat Realisme dan Aliran Rasionalisme serta Tokoh-tokohnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun