Mohon tunggu...
Nur Halisa
Nur Halisa Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Negeri Semarang

suka menulis yang menarik perhatian

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

menurunnya ketertarikan anak muda pada profesi guru

15 Juni 2025   16:00 Diperbarui: 15 Juni 2025   16:08 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Minat generasi muda saat ini untuk menjadi guru telah mengalami penurunan, padahal kebutuhan akan tenaga pendidik di Indonesia terus meningkat. Data dari Kemendikbudristek pada 2024 menunjukkan bahwa kekurangan guru mencapai lebih dari 1,3 juta secara nasional, baik di sekolah negeri maupun swasta. Di tengah kekosongan besar ini, justru makin sedikit lulusan muda yang berminat menempuh jalur profesi guru. Salah satu faktor utama yang membuat profesi guru kurang menarik adalah soal kesejahteraan. Survei IDEAS dan GREAT Edunesia menemukan bahwa mayoritas guru honorer, sekitar 74%, menerima gaji di bawah UMR, dan 42% bahkan menerima di bawah Rp2 juta per bulan. Dalam beberapa kasus ekstrem, guru hanya digaji Rp300 ribu, bahkan harus menunggu hingga tiga bulan sekali untuk menerima pembayaran. Di sisi lain, beban kerja guru yang tidak ringan yang mana mereka diharapkan dapat mendidik, membentuk karakter, dan menangani urusan administrasi, namun tidak disertai dengan penghargaan layak secara ekonomi dan sosial.
Masalah ini diperparah oleh rumitnya jalur menjadi guru profesional di Indonesia. Meskipun seorang mahasiswa telah lulus dari program pendidikan dan menyandang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd), hal itu belum cukup untuk langsung menjadi guru yang diakui secara resmi. Mereka harus menempuh Program Profesi Guru (PPG) untuk mendapatkan sertifikasi dan gelar Gr, yang merupakan syarat untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Proses ini memakan waktu, biaya, dan energi, serta tidak semua lulusan bisa langsung diterima karena kuota terbatas dan persaingan yang ketat. Akibatnya, banyak lulusan pendidikan yang merasa profesi ini tidak memberikan kejelasan karier yang cukup dan akhirnya mengalihkan fokusnya ke jalur pekerjaan lain.

Fenomena ini memunculkan kritik yang signifikan. Kini, banyak anak muda yang sebenarnya sudah menempuh pendidikan di jurusan keguruan dan bergelar S.Pd justru tidak menjadikan guru sebagai pilihan utama pekerjaan. Profesi ini sering kali hanya dipilih ketika tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Guru menjadi "opsi terakhir", bukan karena kurangnya idealisme, melainkan karena realita kesejahteraan yang jauh dari memadai. Bahkan, sebagian dari mereka lebih memilih untuk mengejar karier sebagai dosen yang dianggap lebih bergengsi, memiliki jenjang akademik yang jelas, serta memberikan kebebasan intelektual dan penghasilan yang lebih layak. Hal ini mencerminkan adanya ketimpangan persepsi dalam profesi pendidikan, dosen dihargai, sementara guru yang berada di garda depan pembentukan karakter bangsa masih sering dipinggirkan.

Realitas ini juga terkonfirmasi oleh berbagai testimoni dari lapangan dan diskusi daring. Dalam beberapa forum seperti Reddit, muncul keluhan dari para guru honorer yang merasa perjuangannya tidak sebanding dengan imbalan yang diterima. Ada yang harus berjalan puluhan kilometer ke sekolah, mengajar lebih dari 40 jam per minggu, namun hanya dibayar ratusan ribu rupiah. Hal ini bukan hanya persoalan teknis, melainkan cermin dari bagaimana negara dan masyarakat memandang profesi guru. Ketika profesi ini tidak dihargai secara ekonomi, tidak memiliki jaminan perlindungan, dan tidak ada kepastian karier, maka wajar jika anak muda merasa enggan untuk menempuh jalan ini, bahkan sekalipun mereka telah memiliki latar belakang pendidikan di bidang tersebut.

Dampaknya, jika hal ini terus berlanjut, Indonesia akan menghadapi krisis pendidikan yang lebih serius, tidak hanya kekurangan guru secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitas dan komitmen. Anak-anak bangsa akan ditangani oleh tenaga pengajar yang terpaksa mengajar karena kebutuhan, bukan karena panggilan. Ini berbahaya dalam jangka panjang, karena pendidikan adalah fondasi peradaban. Maka sudah saatnya negara melakukan pembenahan total mulai dari reformasi sistem rekrutmen, peningkatan kesejahteraan, kemudahan akses sertifikasi, hingga kampanye nasional untuk memulihkan citra dan martabat profesi guru. Tanpa langkah nyata dan strategis, profesi guru akan terus kehilangan daya tariknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun