Saat tahun ajaran mendekati akhir, suasana di sekolahku di Yogyakarta mulai terasa berbeda. Ada semangat yang menggebu di antara teman-teman sekelas, terutama saat kami membahas tentang foto year book. Tahun ini, kami sepakat untuk mengusung tema yang berbeda: Kejawen. Tema ini bukan hanya sekadar pilihan, tetapi juga sebuah perjalanan untuk mengenal lebih dalam budaya dan tradisi yang ada di sekitar kami.
Sebagai seorang pelajar yang berasal dari perantauan di Kalimantan Timur, saya merasa terhubung dengan tema ini meskipun latar belakang budaya saya berbeda. Saya lahir dan besar di tanah yang kaya akan keanekaragaman budaya, namun saat saya pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan, saya merasakan kedekatan yang mendalam dengan budaya Jawa. Kejawen bukan hanya sekadar kepercayaan, tetapi juga mencakup nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam diskusi kami, saya mengusulkan agar kita tidak hanya mengenakan pakaian tradisional, tetapi juga menambahkan elemen-elemen yang mencerminkan kebudayaan Jawa dalam foto kami.
Kami sepakat untuk mengenakan busana adat Jawa, seperti kebaya untuk perempuan dan beskap untuk laki-laki. Namun, saya ingin lebih dari sekadar pakaian. Saya ingin setiap elemen dalam foto kami menceritakan kisah. Kami mulai merencanakan aksesori yang akan digunakan. Misalnya, kami bisa menambahkan bunga melati sebagai simbol kesucian dan keindahan, serta menggunakan batik sebagai motif yang kaya akan makna.
Hari pemotretan pun tiba, dan kami memutuskan untuk mengambil foto di berbagai lokasi ikonik di Yogyakarta yang mencerminkan budaya Jawa. Kami memilih beberapa tempat yang memiliki arsitektur tradisional, seperti joglo dengan atapnya yang menjulang tinggi dan dinding kayu berwarna cokelat kuno. Tempat-tempat ini tidak hanya indah, tetapi juga sarat dengan makna dan sejarah.
Kami berkumpul di salah satu joglo yang terletak di tengah kota. Suasana di sekitar kami sangat mendukung, dengan pepohonan rindang dan udara segar yang membuat kami semakin bersemangat. Setiap orang terlihat anggun dalam balutan busana tradisional. Saya mengenakan kebaya berwarna merah marun yang dipadukan dengan batik tulis. Teman-teman saya juga tampil menawan dengan berbagai variasi kebaya dan beskap. Kami semua berusaha untuk menampilkan sisi terbaik dari diri kami, tidak hanya untuk foto, tetapi juga untuk menghormati budaya yang kami angkat.
Sesi pemotretan dimulai dengan latar belakang joglo yang megah. Kami tidak hanya berpose dengan senyuman, tetapi juga mencoba untuk mengekspresikan berbagai elemen budaya Jawa. Ada yang berpose dengan tangan di depan dada, melambangkan rasa syukur. Ada pula yang berpose dengan gerakan tari tradisional, menambah keindahan dalam setiap jepretan. Kami berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, seperti di depan candi-candi kecil yang tersebar di sekitar joglo, dan di taman-taman yang dihiasi dengan bunga-bunga tropis. Kami tertawa, bercanda, dan merasakan kebersamaan yang hangat. Dalam momen itu, saya menyadari bahwa dresscode ini lebih dari sekadar pakaian; ini adalah cara kami merayakan identitas kami sebagai generasi muda yang menghargai warisan budaya.
Setelah sesi foto selesai, kami berkumpul untuk berbagi cerita. Beberapa teman mulai menceritakan pengalaman mereka tentang tradisi Jawa yang mereka jalani di rumah. Ada yang bercerita tentang ritual selamatan, ada pula yang mengenang saat-saat berkunjung ke pasar tradisional. Diskusi ini membuat kami semakin dekat, dan saya merasa bangga bisa berbagi momen ini dengan mereka.
Ketika year book akhirnya diterbitkan, saya membuka halaman yang berisi foto kami dengan penuh rasa ingin tahu. Melihat wajah-wajah ceria kami dalam balutan busana tradisional, dengan latar belakang joglo dan elemen budaya lainnya, saya merasakan kebanggaan yang mendalam. Foto itu bukan hanya sekadar gambar; itu adalah simbol dari perjalanan kami, dari anak-anak yang tumbuh di tengah budaya yang kaya. Kami telah berhasil menggabungkan tradisi dengan semangat muda, menciptakan kenangan yang akan kami bawa hingga dewasa nanti.
Melalui pengalaman ini, saya belajar bahwa mengenakan dresscode bukan hanya tentang penampilan, tetapi juga tentang makna yang terkandung di dalamnya. Setiap detail, setiap warna, dan setiap aksesori memiliki cerita yang bisa menghubungkan kita dengan akar budaya kita.Â
Saya berharap, di masa depan, generasi muda lainnya juga akan terus menghargai dan merayakan warisan budaya mereka, seperti yang kami lakukan. Dengan semangat Kejawen, kami melangkah ke masa depan, membawa serta nilai-nilai luhur yang akan terus hidup dalam diri kami. Meskipun saya berasal dari Kalimantan Timur, Yogyakarta telah menjadi rumah kedua bagi saya, dan pengalaman ini semakin memperkuat rasa cinta saya terhadap keragaman budaya Indonesia.