Mohon tunggu...
Nur Fatimah
Nur Fatimah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Belajar dan terus belajarlah!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Lika-liku Petani Padi, Berusaha Tetap Produktif di Tengah Meningkatnya Kesulitan

26 Desember 2020   22:28 Diperbarui: 26 Desember 2020   22:29 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lahan persawahan petani di sebuah desa di daerah Klaten, Jawa Tengah (Foto: Fatimah)

Pasalnya, apabila curah hujan terlalu tinggi, tanaman padi yang masih kecil itu akan terendam banjir. Sebaliknya, apabila setelah ditanam, hujan tidak turun beberapa lama, padi terancam mati karena kekurangan air. 

"Agak sulit menanam padi akhir-akhir ini, mbak. Karena hujan panas itu tidak pasti datangnya. Kita kan nunggu hujan buat nanam, tapi kalau hujan terus ya banjir sawahnya. Tapi sering juga, sudah ditanam, malah gak hujan beberapa hari, ya bisa mati itu padinya" ungkap Mulyono.

Belum lagi, hama sering mengganggu, mulai dari tikus, keong, belalang, wereng, dan lain-lain. Mulyono dan rekan-rekan petani harus memutar otak lagi untuk menjaga padinya.

Sering kali, serangan tikus merajalela. Mulyono dan petani lainnya berusaha untuk menjaga tanamannya dengan cara memagari sekeliling tanaman padi dengan plastik. 

Disamping itu, Mulyono dan rekannya terkadang memburu tikus-tikus pengganggu itu. Tak hanya tikus, hama lainnya juga turut memusingkan Mulyono. 

Belalang dan wereng adalah hama yang selalu muncul saat proses pertumbuhan padi. Maka untuk mengatasinya, Mulyono harus menyiapkan pembasmi hama tanaman padi.


Disamping menjaga dari hama, perawatan padi juga meliputi menyingkirkan rumput yang ikut tumbuh dan pemberian pupuk. Disinilah letak dilema Mulyono dan kawan-kawan petani. 

Pasalnya, pupuk yang ada saat ini terbatas jumlahnya. Di daerah Mulyono sendiri, pupuk relatif langka serta harganya sering tak masuk akal. Namun, Mulyono dan petani lainnya tak punya pilihan lain. 

Mulyono dan para petani harus bersabar menanti pendistribusian pupuk untuk sampai di daerahnya, dan rela untuk membeli pupuk tersebut dengan harga yang tak murah.

Saat ditanya mengenai mengapa tidak membuat pupuk sendiri, Mulyono mengatakan ia tak memiliki alatnya, pun dengan teman-temannya. Ia juga tak memiliki pengetahuan mengenai pembuatan pupuk. 

Kemudian saat ditanya mengenai pupuk organik yang cenderung tidak langka keberadaannya, Mulyono mengatakan bahwa pupuk organik tidak seefektif pupuk kimia sehingga petani cenderung tetap mencari pupuk kimia untuk paling tidak dicampur dengan pupuk organik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun