Dalam keseharian, sering kali kita menemukan anak yang tampak "kuat", tahan banting, tidak mudah menangis, dan seolah-olah sangat rasional dalam menghadapi segala sesuatu. Namun ketika titik jenuhnya datang, reaksinya justru mengejutkan: tangisan tiba-tiba, kepala "berisik", tubuh tumbang.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Mari kita lihat dari kacamata STIFIn, terutama untuk anak dengan dominan mesin kecerdasan Thinking (T).
Siapa Itu Anak Thinking?
Anak dengan mesin Thinking (T) adalah pemikir logis, kritis, dan sistematis. Mereka senang menganalisis, menyusun sebab-akibat, dan mencari solusi. Jika diberi tugas, mereka cenderung fokus pada efisiensi dan kualitas. Mereka juga lebih hemat dalam mengungkapkan emosi.
Namun, ketika beban pikiran bertumpuk, mereka bisa mengalami yang disebut "cognitive overload" --- dan ini bukan sekadar stres biasa.
Ilustrasi Kasus NyataÂ
Seorang remaja putri, sebut saja Alya, sedang menyelesaikan tugas akhir perkuliahan. Ia dikenal sebagai pribadi yang tenang dan tidak mudah panik. Proses penulisan tesisnya berlangsung lancar --- tanpa drama dan tanpa keluhan.
Namun, ketika dosen pembimbing tiba-tiba meminta tambahan analisis dan revisi besar-besaran menjelang sidang, sesuatu berubah. Alya tidak bisa membuka laptop selama berhari-hari. Ia merasa kepalanya "berisik", menangis diam-diam setiap kali mengingat tesisnya, dan bahkan mengalami sakit kepala hebat hingga harus mengonsumsi obat pereda nyeri.
Padahal secara objektif, ia telah menyelesaikan banyak hal. Tapi secara internal, struktur logika yang biasanya menjadi pegangan, terasa runtuh.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Pada anak Thinking, beban emosi sering kali tidak muncul dalam bentuk tangisan atau keluhan, melainkan: