"Nangisnya Ti bukan karena sedih. Bukan juga karena diuji. Justru ia sedang mengetes---mengamati dunia dari bawah, dari maqam yang sengaja ia turunkan. Ia sedang melepas tahta, bukan kehilangan kekuasaan."
Dalam banyak kisah spiritual, tangis sering dimaknai sebagai tanda ujian dari Tuhan atau penderitaan batin. Namun, ada jenis tangis lain yang lebih langka---tangis dari seseorang yang sebenarnya sedang berdaulat atas dirinya, namun secara sadar memilih turun dari maqam-nya, mencopot mahkota ruhani, dan masuk ke ruang kegelapan batin atas kehendaknya sendiri.
Spiritualitas Invers: Ketika yang Naik Justru Turun
Konsep ini dikenal dalam tasawuf sebagai bentuk khidmat batiniah: seseorang yang telah mencapai pencerahan tertentu, namun memilih untuk merendah bukan karena dipaksa ujian, melainkan karena ingin menyelami rasa, menguji keteguhan, atau menyentuh kejujuran spiritual.
Ibn 'Arabi menyebut fenomena ini sebagai tanazzulat, turunnya ruhani tinggi ke maqam yang lebih rendah untuk menunaikan "tugas jiwa"---bukan karena kemunduran, tapi karena kasih atau kehendak sadar.
Sebagaimana Nabi Musa yang "turun gunung" setelah percakapan dengan Tuhan. Atau Rasulullah yang memilih hidup sederhana setelah Isra' Mi'raj, meski telah melihat surga. Ini bukan kelemahan. Ini kekuatan yang menyamar.
Psikologi Transpersonal: Self-Initiated Descent
Dalam psikologi kontemporer, khususnya pendekatan transpersonal, dikenal istilah voluntary descent---fase ketika seseorang secara sadar "menjauh dari puncak" untuk menggali kedalaman jiwa. Menurut Dr. John Rowan, ini adalah tahapan penting dalam perjalanan aktualisasi diri. Mereka yang sudah "tinggi" kadang perlu "turun" untuk tidak terjebak dalam ilusi spiritual ego (spiritual bypassing).
"The wise know when to go up, and when to descend. In descending, they often find their truest depth."
--- John Rowan, Subpersonalities: The People Inside Us
Melepas Maqam: Sebuah Kontrol Batin Tertinggi
Menurunkan maqam bukan kelemahan. Justru di situlah letak kebebasan ruhani. Seorang sufi sejati bukan yang terus-menerus menanjak, tapi yang bisa memilih turun tanpa terjatuh. Ini bukan degradasi, tapi ekspresi kesempurnaan.
Rumi berkata, "Kadang, aku menyamar sebagai daun gugur, padahal aku angin yang menggugurkannya."
Air Mata Ti: Tangis Pemilik Tahta
Ti menangis bukan karena tak punya apa-apa. Justru karena ia punya banyak---terlalu banyak---hingga ia butuh jeda. Butuh rasa kosong untuk menjaga kesadaran tetap utuh. Dalam satu studi di Harvard Divinity School (2020), ekspresi batin melalui praktik solitude (pengasingan diri, kehampaan, dan keheningan emosional) dikaitkan dengan penguatan identitas spiritual yang otonom.
Tangis Ti adalah latihan batin.
Ia sedang mengetes:
Apakah aku tetap cinta jika aku kehilangan posisi?
Apakah aku tetap utuh jika aku melepaskan sorotan?
Apakah aku masih aku jika aku turun dari maqam-ku?
Penutup: Yang Turun Bukan Karena Jatuh
Ti bukan sedang diuji. Ia sedang menguji.
Ia turun bukan karena jatuh, tapi karena ingin tahu:
masihkah dunia bergetar jika ia tak bersuara?
masihkah jiwanya bergemuruh meski ia menanggalkan gelar?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI