Mohon tunggu...
nurfadhilah rauf
nurfadhilah rauf Mohon Tunggu... Dosen, Konsultan Keluarga, Kesehatan dan Pendidikan

Licensed Promotor STIFIn Family

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Ketika Tulisan Dianggap Provokatif: Pelajaran dari Artikel yang Ditarik

14 April 2025   20:43 Diperbarui: 14 April 2025   20:43 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi AI generated

Menulis adalah salah satu cara paling elegan untuk menyuarakan kegelisahan. Tapi kadang, kegelisahan yang ditulis terlalu jujur bisa dianggap "provokatif". Bagi penulis, apalagi yang aktif menyuarakan isu sosial, ini bisa menjadi pengalaman yang membingungkan sekaligus membuka mata: bagaimana tulisan kita dipahami, diterima, atau bahkan ditolak.

Baru-baru ini, saya mengalami hal itu. Sebuah artikel saya yang memuat kritik berbasis data soal kebijakan pangan dan gizi nasional ditarik oleh platform tempat saya menulis. Tak ada peringatan, hanya notifikasi singkat: konten Anda dinilai melanggar pedoman komunitas.

Mengapa Tulisan Bisa Dianggap Provokatif?
Ada beberapa alasan umum kenapa tulisan bisa dianggap provokatif oleh platform atau pembaca:

  1. Judul yang Menggugah Emosi
    Kata-kata seperti "maut", "bobrok", "jebakan", atau "gagal" bisa menarik perhatian, tapi juga berisiko memicu persepsi negatif---terutama jika menyentuh kebijakan publik atau lembaga negara.

  2. Isu yang Sensitif
    Topik seperti kemiskinan, gizi buruk, distribusi bantuan, militerisasi, atau ketimpangan sering kali dianggap rawan. Bahkan jika disampaikan dengan data, bisa tetap dinilai "terlalu keras".

  3. Kritik yang Terlalu Terbuka
    Ketika kritik tidak dibalut dengan disclaimer atau framing positif, pembaca (atau moderator) bisa menilai tulisan sebagai bentuk agitasi, bukan ajakan diskusi.

  4. Narasi yang Tidak "Seimbang"
    Beberapa platform mendorong tulisan yang menampilkan "dua sisi". Jika terlalu fokus pada sisi negatif, tulisan bisa dianggap tidak objektif---walaupun penulis memang sedang ingin menyuarakan satu sudut pandang.

Contoh Kasus: Antara Gizi, Kebijakan, dan Kata yang Terlalu Jujur

Sebagai contoh, saya pernah menulis artikel tentang program fortifikasi pangan dan perlindungan sosial, yang dalam praktiknya kerap beririsan dengan konsumsi pangan ultra-proses di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam tulisan tersebut, saya menggunakan istilah "duet maut"---bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menggambarkan betapa seriusnya dampak jangka panjang dari kebijakan yang tidak sensitif gizi.

Tulisan itu juga menyentuh soal:

  • bagaimana garis kemiskinan tidak mencerminkan kecukupan gizi yang sebenarnya,

  • kritik terhadap program makan gratis yang berpotensi memfasilitasi konsumsi makanan tak sehat,

  • hingga penolakan program tersebut oleh siswa di Papua.

Semua disertai data, fakta, dan analisis. Tapi tetap saja, tulisan tersebut ditarik. Alasannya: dianggap provokatif. Saat itu, saya hanya bisa mengangguk pelan. Mungkin saya memang terlalu "terbuka" menyuarakan hal-hal yang seharusnya dibahas perlahan. Atau mungkin, sistem belum siap untuk diajak berdiskusi dengan cara yang tidak biasa.

Pelajaran untuk Para Penulis
Dari pengalaman ini, saya belajar beberapa hal yang bisa jadi bekal untuk penulis lain:

  • Kenali platform tempat menulis. Setiap platform punya standar moderasi sendiri. Apa yang diterima di blog pribadi belum tentu lolos di platform komunitas besar.

  • Jaga nada, bukan makna. Kita bisa tetap menyampaikan kebenaran, tapi dengan pilihan kata yang lebih diplomatis. Kadang, sarkas halus lebih nendang daripada serangan langsung.

  • Gunakan data, bukan hanya opini. Data memberi kekuatan pada tulisan. Tapi jangan lupa, cara mengemas data juga penting. Bukan hanya apa yang disampaikan, tapi juga bagaimana.

  • Siapkan ruang alternatif. Punya blog pribadi, akun Medium, atau bahkan newsletter bisa jadi solusi jika suatu hari tulisan kita "ditolak" rumah utama.

Menulis Bukan Sekadar Menyuarakan, Tapi Juga Merawat Suara
Tulisan yang ditarik bukan berarti tulisan yang salah. Bisa jadi, justru karena tulisannya terlalu "mengena", maka dianggap terlalu "mengganggu". Tapi sebagai penulis, kita perlu terus belajar: menyuarakan dengan cara yang tidak hanya terdengar, tapi juga bisa bertahan.

Karena di dunia yang penuh algoritma dan sensor halus, menulis bukan hanya soal apa yang ingin kita katakan, tapi juga bagaimana agar pesan itu tetap hidup, meski mungkin harus menempuh jalan memutar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun