Menulis adalah salah satu cara paling elegan untuk menyuarakan kegelisahan. Tapi kadang, kegelisahan yang ditulis terlalu jujur bisa dianggap "provokatif". Bagi penulis, apalagi yang aktif menyuarakan isu sosial, ini bisa menjadi pengalaman yang membingungkan sekaligus membuka mata: bagaimana tulisan kita dipahami, diterima, atau bahkan ditolak.
Baru-baru ini, saya mengalami hal itu. Sebuah artikel saya yang memuat kritik berbasis data soal kebijakan pangan dan gizi nasional ditarik oleh platform tempat saya menulis. Tak ada peringatan, hanya notifikasi singkat: konten Anda dinilai melanggar pedoman komunitas.
Mengapa Tulisan Bisa Dianggap Provokatif?
Ada beberapa alasan umum kenapa tulisan bisa dianggap provokatif oleh platform atau pembaca:
-
Judul yang Menggugah Emosi
Kata-kata seperti "maut", "bobrok", "jebakan", atau "gagal" bisa menarik perhatian, tapi juga berisiko memicu persepsi negatif---terutama jika menyentuh kebijakan publik atau lembaga negara. Isu yang Sensitif
Topik seperti kemiskinan, gizi buruk, distribusi bantuan, militerisasi, atau ketimpangan sering kali dianggap rawan. Bahkan jika disampaikan dengan data, bisa tetap dinilai "terlalu keras".Kritik yang Terlalu Terbuka
Ketika kritik tidak dibalut dengan disclaimer atau framing positif, pembaca (atau moderator) bisa menilai tulisan sebagai bentuk agitasi, bukan ajakan diskusi.Narasi yang Tidak "Seimbang"
Beberapa platform mendorong tulisan yang menampilkan "dua sisi". Jika terlalu fokus pada sisi negatif, tulisan bisa dianggap tidak objektif---walaupun penulis memang sedang ingin menyuarakan satu sudut pandang.
Contoh Kasus: Antara Gizi, Kebijakan, dan Kata yang Terlalu Jujur
Sebagai contoh, saya pernah menulis artikel tentang program fortifikasi pangan dan perlindungan sosial, yang dalam praktiknya kerap beririsan dengan konsumsi pangan ultra-proses di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam tulisan tersebut, saya menggunakan istilah "duet maut"---bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menggambarkan betapa seriusnya dampak jangka panjang dari kebijakan yang tidak sensitif gizi.
Tulisan itu juga menyentuh soal: