Setiap kali aku tertawa bersama teman-teman di perantauan, tak banyak yang tahu bahwa tawa itu sering menyembunyikan banyak hal.Â
Ada luka yang belum sembuh, ada lapar yang dipendam, dan yang tak pernah hilang---ada doa ibu dari jauh yang selalu menjaga.
Aku tidak akan pernah lupa hari ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah perantauan. Rasanya seperti berdiri di tempat asing dengan peta yang buram.
 Semuanya baru, semuanya terasa menantang, tapi juga menakutkan.Â
Usia masih 19 tahun, dan hidup mendadak terasa begitu nyata.Â
Tidak ada lagi suara ibu membangunkan dari tidur, tidak ada masakan hangat yang disiapkan dengan penuh cinta, dan tidak ada pelukan ayah saat semangat runtuh.
Yang ada hanyalah kamar kos kecil, tembok dingin, dan aku---sendirian menghadapi dunia.
Tawa di Permukaan, Lapar di Dalam Perut
Hari-hari awal di perantauan adalah masa adaptasi yang diam-diam menyakitkan. Aku belajar tersenyum di tengah dompet yang mulai menipis.Â
Aku tertawa saat bercanda bersama teman, padahal perut sedang menahan lapar karena memilih menyisihkan uang untuk bayar listrik dan kontrakan.
Mie instan jadi makanan rutin. Kalau sedang benar-benar tidak punya uang, air putih hangat dan nasi tanpa lauk pun bisa jadi solusi. Tapi tetap saja, aku berusaha terlihat baik-baik saja.Â
Karena begitulah cara anak rantau bertahan---menyembunyikan kenyataan di balik kekuatan pura-pura.
Luka yang Tak Selalu Berdarah
Bukan hanya soal makan dan tempat tinggal. Perantauan mengajarkanku bahwa luka tidak selalu berbentuk goresan di kulit.Â
Kadang luka itu berupa kata-kata yang menyakitkan, ekspektasi yang tidak terpenuhi, atau kenyataan bahwa orang yang dulu kita anggap sahabat berubah jadi asing dalam sekejap.
Pernah suatu ketika aku dikhianati teman sendiri, padahal aku mempercayainya sepenuhnya.Â
Rasanya seperti ditampar di tengah keramaian. Tapi aku tidak bisa pulang.Â
Tidak ada pelukan ibu di sana. Yang ada hanyalah bantal dan dinding kamar yang jadi tempat menumpahkan air mata.
Namun luka-luka itu, ternyata, tidak membuatku lemah. Justru aku belajar menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih hati-hati, dan lebih dewasa dalam memilih siapa yang bisa dipercaya.
Dan Selalu, Doa Ibu Jadi Penopang
Di balik semuanya, ada satu hal yang tak pernah berubah: doa ibu.
Setiap kali telepon dari ibu masuk, suaranya membawa hangat yang tidak bisa diberikan siapa pun di sini. "Nak, jangan lupa makan ya. Jangan kerja terus. Ibu selalu doakan kamu."
Kalimat itu seperti selimut di musim dingin. Doanya, meski tidak terdengar setiap hari, seperti pelindung tak kasat mata yang menyelamatkanku dari banyak kemungkinan buruk.
Entah berapa kali aku hampir menyerah, tapi kemudian teringat wajahnya.
 Perempuan itu, yang sejak kecil membesarkanku dengan tangan sendiri, kini hanya bisa berdoa dari jauh.Â
Maka, aku pun memilih untuk tidak menyerah---karena aku tahu, ada seseorang di kampung sana yang selalu menyebut namaku dalam doanya.
Tumbuh, Walau Terluka
Perantauan tidak membuatku jadi sempurna. Tapi ia membuatku tumbuh.Â
Dari anak manja yang tak bisa apa-apa, aku belajar mencuci bajuku sendiri, memasak seadanya, mengatur keuangan, bahkan bekerja paruh waktu untuk bertahan.
Aku belajar bahwa kesepian adalah bagian dari proses. Bahwa tidak apa-apa merasa hancur sesekali, asalkan tidak menyerah selamanya.Â
Dan bahwa tidak semua perjuangan harus dilihat orang---karena yang penting, Tuhan dan ibu tahu aku sedang berjuang.
Kini, ketika orang-orang melihatku tertawa di media sosial, makan bersama teman, atau unggah foto kopi di kafe murah, mereka mungkin tak tahu cerita di baliknya. Tapi aku tahu.Â
Aku tahu bahwa tawa itu ditempa oleh hari-hari penuh perjuangan. Aku tahu bahwa senyum itu bertahan berkat doa ibu yang tak pernah berhenti. Dan aku tahu bahwa lapar dan luka itu, kini, berubah jadi bekal hidup yang tak tergantikan.
Aku adalah anak rantau.
Tawaku mungkin ringan, tapi langkahku penuh cerita.
Dan di balik semua itu, doa ibu adalah alasan mengapa aku belum pernah menyerah.
Tulisan ini kupersembahkan untuk semua anak rantau yang sedang bertahan di kota orang. Teruslah melangkah, meski pelan. Karena kita semua sedang dibentuk oleh jarak, rindu, dan waktu.
Jika kamu juga sedang merantau dan merasa sendiri, percayalah: kamu tidak benar-benar sendiri. Tuhan dan doa ibu selalu ada bersamamu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI