Mohon tunggu...
Nuraini Mastura
Nuraini Mastura Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga

Suka baca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Romantisasi Pendidikan Masa Lalu

20 April 2025   20:11 Diperbarui: 21 April 2025   07:41 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: akun youtube Dyah Permatasari  

Baru-baru ini kita menerima kabar dari Kemendikdasmen bahwa penjurusan IPA, IPS, Bahasa pada jenjang SMA akan kembali dihidupkan mulai tahun ajaran 2025/2026. Sebagai orangtua yang memiliki anak usia sekolah saya pun agak ketar-ketir. Sebelumnya, skema penjurusan di bangku SMA ini telah dihapus karena dianggap tidak selaras dengan Kurikulum Merdeka yang semestinya memberi ruang lebih bagi murid untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya. 

Gonta-ganti kebijakan sebetulnya sudah bukan hal yang aneh di negeri ini. Pemerintah kita acap mengganti kurikulum setidaknya setiap sepuluh tahun sekali. Terakhir adalah pemberlakuan Kurikulum Merdeka yang sejatinya sebuah terobosan cukup radikal. Kurikulum ini mengubah mindset para penyelenggara pendidikan. Murid tidak lagi dipandang hanya sebagai objek didik, tapi lebih sebagai subjek yang berdaya. Metode belajar dijadikan lebih fleksibel dengan memerhatikan potensi, minat, dan kemampuan siswa. Sayang pada kenyataannya, para eksekutor di lapangan banyak yang belum siap mengadopsi kurikulum yang digagas oleh menteri milenial Nadiem Makarim. Banyak yang menilai gagasan menteri sebelumnya terlalu visioner, terlalu menapak langit. Padahal kalau boleh jujur, yang saya lihat adalah karena ujung tombak penyelengga pendidikannya, yakni para guru, kebanyakan memiliki "fixed mindset" yang begitu terbiasa dengan cara-cara lama. Inisiatif "Guru Penggerak" yang sebelumnya untuk menginspirasi tenaga pengajar lain juga sudah dihapus. Diganti menjadi "Program Pendidikan Kepemimpinan Sekolah" yang semata difokuskan sebagai persiapan jalur karier calon kepala sekolah.

Kebijakan yang terlalu cepat berganti ini lagi-lagi mengorbankan bukan hanya tenaga pengajar, tetapi yang utama, MURID-lah yang paling dirugikan. Mereka kembali dijadikan sebagai kelinci percobaan. Padahal output dari sebuah kebijakan pendidikan mustahil terlihat hanya dalam kurun waktu setahun dua tahun. Idealnya, bahkan diukur lebih dari sepuluh tahun. Sementara penghapusan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa oleh menteri sebelumnya baru diterapkan di tahun ajaran 2024/2025. Kurang dari setahun.

"Enak jamanku, toh."

Kita mungkin sudah tau video-video viral guru yang menguji kemampuan murid. Ketika sebagian besar murid tidak bisa menghitung perkalian dasar atau salah menamai kota. Kolom chat lantas dipenuhi dengan komentar-komentar semacam "Parah. Gara-gara menteri gojek." "Jamanku dulu nggak begini... nggak begitu tralala." Mudah sekali orang berkomentar dan meyakini satu hal berdasar cuplikan video pendek yang melintasi feed mereka.

Biar saya katakan satu hal. Video-video singkat itu tidak mengungkapkan apa-apa yang baru. Bukan berarti kurikulum yang lalu tidak ada masalah, dan hanya melahirkan siswa-siswi cemerlang.

Yang berbeda adalah, dahulu tidak ada media sosial. Angka anak putus sekolah tinggi, begitu pula yang tidak bisa perkalian di bangku sekolah lanjutan. Namun mereka ini tidak terkespos oleh akun-akun Toktok milik wali kelas. Yang kita saksikan di layar kaca dulu adalah siswa-siswi berprestasi menjawab soal cerdas cermat di TVRI. Anak-anak yang sudah dilatih menghafal RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap) ini sudah terfilter sebelum masuk ke ranah publik. Di masa kini, siswa berprestasi di Indonesia jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka bersaing di gelanggang internasional, bukan saja di panggung kecamatan atau paling banter di TVRI. Tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Lagi pula, kita semua tahu faktanya. Sebelum kurikulum merdeka dihadirkan, angka PISA jeblok, literasi rendah, dan kualitas SDMI sulit bersaing di pasar global (kita hanya mengekspor buruh migran kasar sebagai TKI di rumah-rumah WNA).

Sudahilah meromantisasi pendidikan masa lalu berlebihan. 

Kelinci Percobaan

Berbicara kembali soal penjurusan di bangku SMA, ada masa ketika saya sendiri yang duduk sebagai murid dan menjadi kelinci percobaan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun