Mohon tunggu...
Nuraini Mastura
Nuraini Mastura Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga

Suka baca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Romantisasi Pendidikan Masa Lalu

20 April 2025   20:11 Diperbarui: 21 April 2025   07:41 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: akun youtube Dyah Permatasari  

Sedikit kilas balik. Saya bersekolah di SMUN 70 Jakarta. Sebuah sekolah unggulan yang saat itu juga masih gagap dengan penerapan kebijakan penjurusan yang baru diberlakukan selama dua tahun. Sebelumnya penjurusan dibagi empat, yakni A1 (Fisika), A2 (Biologi), A3 (Ekonomi), dan A4 (Bahasa). Lulus kelas 2 SMA, siswa diharapkan sudah memilih hendak memasuki kelas IPA atau IPS. Sayangnya, tidak ada penjelasan dari pihak guru tentang kemungkinan pilihan jalur karier bila kita memilih IPA atau IPS. Sederhananya, pihak guru akan menyarankan murid yang memiliki nilai rapor cukup --- standar nilai matematikanya tidak merah --- untuk masuk kelas IPA. Sementara anak yang tidak begitu ambisius mengejar prestasi akademik alias santai supaya masuk IPS. Inilah yang dikhawatirkan sebagian besar pihak. Bahwa dikotomi anak IPA dengan anak IPS hanya membentuk kasta baru di sekolah. Begitu juga yang saya rasakan dua dasawarsa silam. Kelas IPA menjadi kelas favorit dan identik dengan anak pintar, sementara IPS kelas buangan dengan anak santai dan kurang ambisius secara akademis. Siswa pembuat onar dan yang sering mabal akan banyak ditemui di kelas IPS. Begitu pandangan para guru. Penjurusan Bahasa sudah dimatikan di sebagian besar sekolah karena rendahnya minat siswa memasukinya. Kala itu siswa yang memiliki minat bahasa diarahkan untuk mengambil kursus saja.

Meromantisasi pendidikan masa lalu adalah kegagapan kita membaca zaman.

Padahal di dunia kerja kelak, yang dibutuhkan adalah ilmu lintas-disiplin. Sekat-sekat antara dunia IPA dengan IPS sudah demikian cair. Pun sudah lebih dua dekade masa saya bersekolah. Sudah lahir banyak mata pelajaran baru yang dibutuhkan di pasar kerja. Generasi Alfa kini memiliki minat tinggi mempelajari Coding dan AI. Kira-kira pelajaran itu bakal dimasukkan ke jurusan IPA atau IPS? Di era digital seperti ini, dikotomi ini sudah terlalu usang. Apalagi sepuluh tahun dari sekarang ketika anak-anak Alfa ini sudah lulus dan baru siap memasuki pasar kerja. Saya sungguh tak habis pikir dengan program penjurusan ini. Apa latar belakang yang mendasarinya?

Kalau kita ingin mencontek dari kebijakan pendidikan negara maju --- sebagaimana kunjungan dinas yang seringkali dilakukan pejabat --- sudah benar pendekatan yang diambil oleh menteri sebelumnya.

Di AS, murid SMA memiliki kebebasan untuk mengambil mata pelajaran pilihan di luar dari mata pelajaran wajib. Mata pelajaran wajib meliputi matematika, sains, ilmu sosial, dan bahasa. Mata pelajaran pilihan bergantung sekolah, tetapi umumnya meliputi kesenian, teknologi, bahasa asing, ekonomi, politik, fisika. Begitu juga yang diberlakukan di Korea Selatan, Singapura, dan lain-lain. Kuncinya, murid diberi fleksibilitas untuk meramu proses belajarnya sendiri.

Penjurusan yang ingin kembali dihidupkan ini hanya merupakan bukti bahwa penyelenggara pendidikan tidak memiliki kepercayaan kepada anak didiknya. Meragukan kemampuan mereka menentukan arah masa depan sendiri. Alih-alih memastikan tersedia tenaga guru BK sebagai penasihat akademis yang mumpuni di tiap sekolah, negara malah ingin melanggengkan kebiasaan anak yang pasif dan hanya menunggu dicekoki oleh guru. Menyerahkan masa depan mereka ke tangan otoritas --- guru sebagai instrumen ajar negara.

Luar biasa memang. Upaya berdarah-darah yang digagas sebelumnya untuk lebih memosisikan murid sebagai subjek yang berdaya dihapus begitu saja dalam rentang kurang dari setahun. Ibaratnya, kita ini tengah maju lima langkah, tapi di tengah jalan kepleset karena lubang. Alih-alih menambal lubangnya, agar nanti bisa berlari lebih cepat, kita malah memilih berlari mundur ke belakang. Balik ke era yang sudah tak ada lagi. Entah apa yang kita persiapkan bagi anak-anak kita nanti bila lensa yang kita gunakan selalu memandang pada masa lalu. Saya khawatir, arah perjalanan yang kita tempuh sekarang justru membawa kita semakin dekat menuju Generasi Cemas 2045.[]

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun