Teringat saya pada hari pertama saya memulai kuliah S2 saya untuk jurusan Pengembangan Sumber Daya Manusia di Universitas Airlangga. Ada hal menggelitik ketika ada seorang bapak yang memperkenalkan diri. Betapa kagetnya saya ketika mengetahui bapak tersebut memiliki latar belakang keilmuan yang jauh berbeda diantara mahasiswa lainnya. Kebanyakan mahasiswa S2 PSDM berlatar belakang psikologi, ilmu bisnis, manajemen, ekonomi, dan ilmu manusia lainnya seperti antropologi serta politik. Bapak tersebut berlatar belakang teknik fisika. Ketika ditanya oleh dosen saya saat itu, apa motivasinya melanjutkan kuliah S2 PSDM, jawabannya begitu terkesan bagi saya.
Dia menjawab kurang lebihnya seperti ini: " Di tempat kerja saya itu pak, banyak karyawan yang gatau lagi mau diapain. Ibarat kata mereka disiram ga basah, tapi dibakar pun gak panas. Lhaa karyawan kayak gitu tuh enaknya diapain? Nah niat saya tuh pengen tau ilmunya biar ngeberesin mereka"
Sungguh merupakan motivasi yang sangat baik sekaligus sangat sulit untuk merealisasikannya.
Pernyataan tersebut begitu menarik buat saya karena itu merupakan problematika perusahaan sekarang terlebih perusahaan-perusaaan plat merah atau yang terkenal dengan stability nya yang perlu segera diselesaikan.
Hmmm karyawan usang, enaknya diapain?
Disiram? Ga basah
Dibakar? Ga panas jugaa
Pertanyaan ini yang terus menggelitik saya untuk segera mencari jawabannya. Pandemi covid 19 membantu saya akhirnya menemukan jawabannya. Selama pandemic covid, perekonomian bisa dikatakan "ambyarr" lah yaa, disitulah saya mencoba riset kepada perusahaan-perusahaan yang tetap survive dan yang collapse. Pada saat itu saya menangani lebih dari 900 akun perusahaan dari berbagai jenis usaha, mulai dari jasa travel hingga manufaktur. Akhirnya mengantarkan saya untuk akhirnya dapat menjawab pertanyaan tadi.
Karyawan usang, enaknya diapain?
Bagi perusahaan yang notabene non swasta tentunya tidak mudah memberhentikan karyawan. Apalagi untuk perusahaan yang masih banyak warisan-warisan kolonialisme seperti faktor kedekatan dan nepotisme yang tidak mungkin dihilangkan, membuat para deretan HRD atau personalia berkata
"Yaweslah piye meneeh (yasudahlah bagaimana lagi?)".