Malala dan Narasi
Berabad abad berselang, kisah pilu Kartini rupanya masih belum sepenuhnya padam. Periode awal abad 21, Nun jauh di daerah  Swat Valley Pakistan, terdengar dibelenggunya perempuan untuk mengenyam pendidikan di wajah dunia yang sudah semakin maju. Di wilayah indah negara Pakistan tersebut,  sekolah-sekolah perempuan ditutup. Perempuan dilarang untuk pergi ke sekolah menyenyam pendidikan. Adalah Malala Yousafzai, yang saat itu masih gadis belia di usia sekitar 12 tahun, menuliskan kondisi yang saat itu dialaminya melalui blog anonim yang ditujukan untuk BBC, "Diary of Pakistani Schoolgirl". Malala kemudian berkesempatan memberikan pidato "I am Malal" didepan dewan PBB. Kekuatan narasi Malala menjadikan isu lokal ketidakadilan perempuan akan pendidikan di Swat Valley Pakistan pada masa pendudukan Taliban ini menjadi isu global. Sehingga menggerakkan banyak tangan daya dan upaya untuk memperjuangkan akses pendidikan bagi perempuan Pakistan saat itu. Nasib gadis-gadis perempuan itu kemudian menyongsong terang dan Malala pun diganjar Nobel perdamaian dunia, termuda dalam sejarah.
Terkadang kondisi yang sangat tidak ideal, memunculkan manusia-manusia dengan kemampuan di luar nalar. Di usia yang masih sangat beliau, Malala sudah mampu berfikir kritis, dan berani melawan ketidakadilan dengan narasi yang luar biasa. Dari kisah Malala kita juga belajar betapa dahsyatnya kekuatan narasi dalam menggerakkan revolusi atau perubahan besar.
Narasi Saat Ini
Ada banyak hal yang menjadi inspirasi dan sumber belajar dari perjuangan Kartini maupun kisah Malala. Salah satunya, kemampuan menyampaikan gagasan dan mengkonversi menjadi sebuah pergerakan revolusioner melalui ketajaman narasi. Kekuatan Narasi...
Saya sering bertanya-tanya kenapa ya, produk seni budaya kita yang super keren dan kaya ini tidak bisa meng "K-pop kan" dunia?...kemampuan bernarasi dalam diplomasi budaya kita sepertinya masih menjadi PR Besar. Padahal tersimpan potensi ekonomi yang sangat tinggi dibalik seni budaya yang mendunia.
Ketika saya aktif di forum-forum Internasional, kenapa ya forum itu banyak didominasi rekan-rekan dari India. Padahal ide dan gagasan kita seringkali justru lebih powerful, namun tidak terdengar. Mengapa? lagi lagi karena keterbatasan kemampuan narasi. Mau tidak mau kita harus mengakui, kemampuan "ngecap" super canggih rekan-rekan India ini, membawa mereka menjadi salah satu yang mendominasi CEO-level Perusahaan dunia.
Kemampuan teknikal pada kepakaran tertentu tentu suatu hal menjadi sebuah keniscayaan. Namun di era kolaborasi ini, seringkali kemampuan narasi ini lebih berdampak untuk menggerakkan seseorang atau komunitas untuk sebuah ide brilliant. Extremenya, kalo mengutip pendapat Gita Wiryawan "seorang guru fisika yang pandai menarasikan penyampaian materi fisika walaupun mungkin kemampuan fisikanya tidak jago jago amat, akan lebih besar peluangnya mengkonversi lebih banyak siswa untuk menjadi fisikawan fisikawan hebat, dibandingkan dia jago fisika namun tidak mampu menyampaikan keindahan ilmu fisika itu sendiri dengan narasai yang baik." Â Hal ini seharusnya menjadi refleksi bagi para pendidik. Tugas anda tidak hanya mempertajam pengetahuan dan kompetensi keahlian saja, namun asah pula bagaimana mampu menyampaikan ilmu itu dengan narasi yang tidak hanya jelas namun juga menggugah.
Kekuatan narasi juga semakin signifikan di era keterbukaan yang semakin hampir tanpa batas dengan kemajuan teknologi digital. Sungguh kontras dengan wajah masa Kartini kala itu. Ruang Kartini dalam menyuarakan kegelisahan, ide dan gagassannya hanya bersurat kepada para sahabatnnya. Namun kini, setiap individu punya ruang sangat lebar untuk berekspresi apapun itu bentuknya. Dengan kemajuan teknologi digital dalam rupa social media membuat ruang dan sekat menjadi abstrak. Kita akan mudah mengabarkan pada dunia perihal apapun dengan cepat. Maka memilih apa yang ingin kita share, mematutkan narasi yang kita bangun menjadi kunci posisi dan peran kita dalam era disrupsi informasi ini. Narasi yang kuat punya peluang besar untuk memberikan pengetahuan, memberikan inspirasi positif, mengajak bergerak pada sebuah tujuan. Sebaliknya, narasi yang kuat juga punya peran besar untuk menyebarkan kebencian, menyesatkan fikir, membangun pesimisme dan banyak hal negatif lainnya. Narasi yang kuat punya visi dan membawa misi. Tinggal kita memilih menjadi posisi yang menyumbangkan dampak membangun atau sebaliknya, mengacaukan.Â
Kemampuan bernarasi tak lepas dari budaya literasi. Dan nampaknya itu masih menjadi PR sangat besar di negri ini. Tahun 2022, score PISA Indonesia yang sudah rendah malah turun poin termasuk dalam literasi membaca. Dari sini kita bisa berkaca, bagaimana beratnya mendorong munculnya narator hebat di negri ini. Padahal kanal digital mengakselerasi dengan sangat serius setiap ide dan gagasan yang memikat.Â
Mungkin di era Generative AI yang semakin advance, membaca buku bukan satu-satunya jendela menguak cakrawala dan menenun pengetahuan. Bahkan mungkin, kecepatan menambang pengetahuan terakselerasi dengan serius dengan bantuan banyak tools Generative AI. Generative AI ini bahkan tidak hanya mendukung memperoleh pengetahuan dengan lebih cepat, namun juga bisa secara langsung melatih ketajaman bernarasi. Generative AI adalah assistive technology, maka pemanfaatannya tentunya dengan tetap mengandalkan kemampuan berfikir manusia yang logis, kritis dan berdikari.