Kehadiran bocce di SLBN Tasikmalaya tidak hanya menjadi bagian dari rutinitas olahraga, tetapi juga menjadi simbol bahwa olahraga inklusif mampu menumbuhkan kemandirian dan kepercayaan diri anak berkebutuhan khusus.
Prestasi dan Kebanggaan
Kehadiran bocce di berbagai ajang resmi membuktikan olahraga ini bukan sekadar hiburan. Di O2SN Diksus 2025, bocce diperlombakan untuk kategori putra dan putri, mempertemukan atlet-atlet muda dari berbagai provinsi. Banyak dari mereka adalah siswa SLB yang baru pertama kali tampil di panggung nasional.
Guru di SLB Luak Nan Bungsu, Kota Payakumbuh, dalam penelitian yang diterbitkan Universitas Negeri Padang menyebut bahwa dukungan guru menjadi kunci keberhasilan siswa dalam meraih prestasi bocce:
“Guru berperan sebagai motivator, fasilitator, dan teladan, memberikan dukungan, membujuk, dan memberikan hadiah.”
Kisah-kisah inspiratif bermunculan: seorang anak yang semula sulit fokus berhasil meraih medali perunggu; tim bocce dari daerah kecil yang tidak memiliki lapangan permanen berhasil menembus final. Meski tidak selalu membawa pulang piala, kebanggaan dan rasa percaya diri yang mereka bawa pulang tak ternilai harganya.
Tantangan yang Masih Mengadang
Meski pertumbuhannya menggembirakan, bocce masih menghadapi tantangan di Indonesia. Fasilitas lapangan yang sesuai standar belum merata, bahkan sebagian besar sekolah harus memanfaatkan halaman atau aula sebagai arena bermain.
Selain itu, pelatih dan guru pendamping perlu terus dilatih untuk memahami teknik bocce adaptif bagi berbagai jenis kebutuhan khusus. Sosialisasi juga menjadi kunci, karena masih banyak masyarakat yang belum mengenal bocce dan menganggapnya sekadar permainan biasa.
Bola Kecil, Dampak Besar
Bocce mengajarkan kita bahwa olahraga bisa menjadi bahasa universal yang meruntuhkan batas—batas kemampuan, batas sosial, bahkan batas kepercayaan diri. Di tangan anak-anak berkebutuhan khusus, bola kecil bocce menjadi simbol semangat besar untuk berjuang, berprestasi, dan diterima setara.