Telah kutanggalkan serat-serat luka
yang dulu disulam dari lidah-lidah bercabang,
serupa kabut pagi yang kugenggam,
namun lenyap sebelum sempat kutanya arah.
Mereka bernyanyi dengan paruh penuh ilusi,
menebar kabar seakan aku cawan retak,
padahal aku tanah liat yang dipijar nyala,
tak hancur, hanya mengeras dalam sunyi.
Aku tak lagi memintal tali dari bisik
atau memahat marah dari bayang-bayang.
Biarlah jari-jari hasad mencakar langit,
sementara aku melesat,
tanpa menoleh pada bayangan burung-burung kecil
yang menggonggong bulan.
Kau tahu, elang tak perlu menjawab gugatan langit,
ia cukup terbang lebih tinggi,
hingga yang menggangu kehilangan napasnya sendiri.
Sebab udara tipis tak bersahabat
bagi mereka yang hanya terlatih mencaci dari ranting.
Kini aku menyulam prestasi
dari kesenyapan paling jernih,
membiarkan mereka menari dengan debu,
sementara aku bersahabat dengan cahaya
yang tak mereka kenali.
Dan bila mereka bertanya,
mengapa tak kudengar lagi taring kata mereka,
aku hanya tersenyum seperti bukit yang diam
saat batu kecil mencoba menjatuhkannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI