Scroll tanpa kendali juga melahirkan generasi yang cenderung malas membaca panjang, apalagi menganalisis. Judul dibaca, caption dipercayai, isi dilewati.Â
Bahkan banyak yang merasa cukup belajar dari komentar netizen. Inilah literasi instan yang membuat banyak orang cepat terpancing emosi tapi miskin refleksi.
Media sosial yang seharusnya menjadi alat untuk tumbuh, malah menjadi cermin semu yang memantulkan kegelisahan, ketidakpuasan, dan persaingan palsu.
Hidup Bukan Sekadar Geser Layar
Coba renungkan: dalam satu hari, berapa lama waktu yang kamu habiskan untuk hal-hal yang betul-betul memberimu makna? Berapa lama waktu yang benar-benar kamu gunakan untuk membaca, berdialog, menulis, atau merenung?
Jangan-jangan kita sudah terjebak dalam ilusi hidup digital, hingga lupa bagaimana rasanya hidup yang sesungguhnya. Hidup yang punya jeda, arah, dan kedalaman—bukan sekadar scroll tak berujung.
Saatnya Mindful Scrolling
Ini bukan ajakan untuk meninggalkan media sosial sepenuhnya, tapi untuk menggunakannya dengan sadar. Atur waktu screen time, unfollow akun yang tak memberi manfaat, dan kurangi konsumsi konten yang hanya bikin overthinking.Â
Alih-alih scroll tanpa tujuan, mulailah dengan tujuan: belajar, terhubung secara sehat, atau mencari inspirasi nyata.
Latih juga diri untuk membaca tulisan panjang, mencerna pendapat berbeda, dan melatih daya tahan berpikir. Dunia digital tidak akan berhenti, tapi kita bisa memilih untuk berhenti sejenak, demi menjaga kewarasan.
Jempol Boleh Lincah, Tapi Otak Jangan Menyerah