Beberapa alasan anak bisa bertahan dalam hubungan yang toxic antara lain:
- Keinginan untuk diterima: Anak cenderung takut kehilangan teman dan rela bertahan demi “diakui”.
- Kurangnya kemampuan asertif: Anak belum terlatih untuk berkata “tidak” atau menyampaikan pendapat dengan tegas.
- Minimnya komunikasi dengan orang tua: Ketika anak merasa tak punya ruang aman di rumah, ia lebih mudah terseret arus pengaruh luar.
Peran Orang Tua: Dampingi, Bukan Menghakimi
Orang tua memegang peran penting untuk membekali anak agar mampu mengenali dan keluar dari hubungan toxic. Beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Bangun komunikasi terbuka: Ajak anak bercerita dengan pendekatan yang hangat dan tanpa tekanan.
- Ajarkan tentang pertemanan sehat: Bekali anak dengan pemahaman bahwa teman sejati adalah yang saling mendukung, bukan menjatuhkan atau memanfaatkan.
- Jadilah tempat ternyaman bagi anak: Validasi perasaannya. Jangan langsung menyalahkan atau mengkritik teman anak karena bisa membuat anak menutup diri.
Cara Bijak Mengarahkan Anak Keluar dari Lingkaran Toxic
Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengarahkan anak keluar dari lingkaran pertemanan toxic. Anda dapat mulai dengan sebuah diskusi santai. Gunakan momen harian seperti makan bersama atau perjalanan singkat untuk berbicara dari hati ke hati.
Mulai bangun kepercayaan diri anak. Bantu ia melihat kelebihan diri dan dorong ia mengikuti komunitas atau kegiatan yang memperluas lingkaran sosialnya.
Orang tua juga dapat melibatkan pihak sekolah seperti Guru BK atau wali kelas untuk bekerja sama mengamati dinamika sosial anak di sekolah. Jika hubungan tersebut sudah berdampak pada mental dan akademik anak, psikolog anak bisa menjadi solusi.
Bekali Anak, Bukan Menjauhkannya
Tugas orang tua bukan menakut-nakuti anak terhadap dunia luar, tapi membekalinya dengan kemampuan memilah relasi yang sehat. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang, komunikasi terbuka, dan rasa percaya diri akan lebih tahan terhadap pengaruh buruk teman.
Karena pada akhirnya, bukan jumlah teman yang penting, melainkan kualitas pertemanan itu sendiri.
Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat, bagikan kepada orang tua lainnya. Jangan sampai anak-anak kita tumbuh dalam luka yang tak terlihat hanya karena kita abai terhadap siapa yang mengisi lingkaran sosial mereka.