Pagi tadi saya datang ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Di tangan saya, rapor anak saya dan Alhamdulillah, ia berhasil mempertahankan prestasinya. Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar bangga, dan pelukan kecilnya membuat saya lega bahwa perjuangan satu semester ini tak sia-sia. Namun, di balik rasa syukur itu, kenyataan lain mengetuk hati saya.
Dari pengeras suara di aula, kepala sekolah kelas mengumumkan adanya beberapa siswa yang dinyatakan tidak naik kelas. Suasana yang semula riuh menjadi hening sesaat.Â
Saya melihat seorang ibu memeluk erat anaknya yang terisak pelan, mencoba menenangkan hatinya yang retak. Mata saya ikut memanas.Â
Di tengah gemuruh tepuk tangan dan senyum penuh bangga, ada kisah-kisah kecil yang terluka; yang sayangnya, sering kita abaikan.
Dua Wajah di Hari Pembagian Rapor
Hari pembagian rapor selalu membawa dua sisi: yang satu penuh suka cita, yang lain menyimpan duka. Ada anak yang pulang dengan trofi dan nilai sempurna, sementara di sisi lain ada yang pulang dengan berat hati dan kepala tertunduk.Â
Sayangnya, kita lebih sering merayakan keberhasilan dan menengok yang berhasil, sementara yang tertinggal hanya mendapat sorotan negatif; seolah mereka tak cukup berjuang.
Padahal, siapa yang tahu bagaimana kerasnya mereka mencoba? Siapa yang tahu kalau mungkin mereka kesulitan memahami pelajaran karena masalah penglihatan, masalah di rumah, atau rasa takut yang tak pernah mereka ungkapkan?Â
Dan pertanyaan yang muncul adalah: ketika seorang anak tidak naik kelas, apakah hanya dia yang gagal? Ataukah kita sebagai orang tua dan pendidik juga sedang melewatkan sesuatu?
Tidak Naik Kelas: Stigma yang Menyakitkan
Di masyarakat kita, tidak naik kelas masih dianggap sebagai aib. Label "gagal", "bodoh", atau "malas" cepat sekali ditempelkan.Â
Anak-anak ini bukan hanya harus menghadapi kenyataan akademik, tetapi juga beban sosial dan psikologis yang berat. Bahkan, tak sedikit yang kehilangan kepercayaan diri hingga enggan kembali ke sekolah.
Sebagian orang tua juga terpukul; bukan hanya karena hasil, tapi karena rasa malu, takut dicap sebagai orang tua yang kurang berhasil. Lalu, kemarahan itu seringkali berbalik pada anak, yang sudah lebih dulu merasa bersalah dan kecewa pada dirinya sendiri.
Namun, mungkinkah kita semua terlalu cepat menghakimi?
Gagalkah Anak, atau Kita yang Kurang Mendampingi?
Tidak naik kelas seharusnya menjadi alarm, bukan vonis. Ini adalah kesempatan untuk kita berefleksi, baik sebagai orang tua, guru, dan sistem pendidikan.
Apakah anak kita benar-benar mendapat pendampingan yang cukup? Sudahkah kita peka terhadap tanda-tanda mereka mulai kesulitan belajar? Apakah kita terlalu fokus pada hasil tanpa memperhatikan proses?
Banyak anak yang sebenarnya memiliki potensi luar biasa, tetapi tumbuh di lingkungan yang terlalu menuntut dan kurang mendukung. Mungkin ia kesulitan membaca tapi tak pernah diberi kesempatan untuk mengejar.Â
Mungkin ia mengalami kecemasan sosial tapi terus dibandingkan dengan anak lain. Jika itu yang terjadi, maka kegagalan ini bukan milik anak saja. Kita pun turut lalai.
Mendidik dengan Hati, Bukan Amarah
Saat anak tidak naik kelas, yang mereka butuhkan bukan bentakan atau sindiran. Mereka butuh pelukan, pemahaman, dan keyakinan bahwa mereka tidak sendiri. Orang tua perlu menahan ego dan amarah, dan justru hadir dengan empati yang penuh.
Guru pun punya peran penting dalam menyampaikan keputusan dengan bahasa yang membangun. Kata-kata yang bijak bisa menjadi jembatan harapan, bukan lubang kecewa.
Mari kita ubah cara kita merespons. Jangan biarkan anak merasa bahwa nilai dan kelas menentukan harga dirinya. Ia tetap berharga, tetap dicintai, dan tetap punya masa depan.
Titik Balik, Bukan Titik Henti
Tidak naik kelas bukan akhir dari segalanya. Bahkan, bisa jadi inilah titik awal baru.Â
Banyak anak yang justru lebih matang secara emosional dan akademik setelah diberi waktu lebih untuk belajar. Yang penting, mereka tidak merasa sendiri dalam perjuangan itu. Mereka tahu bahwa orang tua dan guru tetap berdiri di samping mereka, bukan di atas mereka.
Mari kita bantu anak membuat rencana baru. Kita evaluasi bersama apa yang bisa diperbaiki, dan fokus pada kekuatannya, bukan hanya kelemahannya.
Mari Kita Berhenti Menghakimi
Hari pembagian rapor bukan sekadar hari perhitungan, tapi bisa menjadi hari pertumbuhan; jika kita mau melihat lebih dalam.Â
Tidak naik kelas bukan berarti anak kita gagal. Bisa jadi, kita semua sedang diberi kesempatan untuk memperbaiki pola asuh, cara mendidik, dan cara memaknai pendidikan.
Anak bukan produk pabrik. Ia manusia yang sedang belajar, bertumbuh, dan mencari jalannya. Maka, ketika ia jatuh, jangan kita biarkan sendiri.Â
Rangkul ia, tuntun ia, dan yakinkan bahwa setiap langkahnya; walau tertatih adalah bagian dari proses besar menjadi pribadi yang kuat.
Karena sebenarnya kegagalan hanya benar-benar terjadi ketika kita berhenti mencoba. Dan tugas kita adalah memastikan anak-anak kita terus mencoba, dengan hati yang penuh harapan dan dukungan yang tak pernah putus.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI