Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Walau Tak Bisa Bicara, Tapi Aku Paham Cinta

13 Juni 2025   17:00 Diperbarui: 17 Juni 2025   20:51 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tiara dan Orang tuanya (Sumber: MetaAI)

Namaku Tiara. Aku lahir tanpa suara. Bukan karena aku tak ingin bicara. Tapi sejak bayi, dunia tak pernah mengirim suara padaku.

Aku tunarungu. Duniaku seperti sebuah gelembung diam, sunyi, tapi tidak kosong. Karena dalam sunyi itu, aku belajar mengenali cinta. Meski tidak dengan kata-kata.

Ayah jarang bicara padaku. Kalau pun iya, suaranya seperti marah pada dunia. Atau mungkin pada dirinya sendiri.

Ibu, sebaliknya. Terlalu sering bicara, terlalu cepat. Terkadang aku sulit memahaminya . Tangannya gemetar saat bicara. Matanya sembab seperti bekas hujan yang belum reda.

Mereka sering bertengkar. Aku tidak bisa mendengar suara mereka, tapi aku tahu. Aku tahu dari cara Ibu membanting pintu. Dari cara Ayah menggenggam gelas kopi terlalu kuat hingga pecah. Dari bayangan tubuh mereka yang saling menjauh di balik pintu kaca. 

Entah mereka bertengkar karena sesuatu yang lebih besar dari aku. Atau karena aku terlahir tak seperti yang mereka harapkan. 

Ayah sering merasa malu. Mungkin takut orang lain akan menatap aneh. Ibu terkadang marah, mungkin bukan padaku, tapi pada hidup yang terasa berat. 

Mereka ingin aku “normal”, seperti anak-anak tetangga yang bisa mendengar dan bicara. Tapi aku berbeda. Dan mungkin itu membuat mereka lelah, marah, dan kecewa.

Kadang aku seakan dapat membaca gerak bibir ayah mengatakan, “Kenapa hidup kita begini?” Dan saat ibu menangis di dapur, aku menangkap bibirnya mengucap “Aku takut dia tidak akan bahagia.”

Aku memang tak bisa mendengar dan berbicara, tapi aku menangkap dan menafsirkan setiap hal yang kulihat lewat indera visualku. Aku paham dan merasakan apa yang mereka rasakan.

***

Setoap hari aku menggambar. Bukan apa-apa, hanya tiga lingkaran; Ayah, Ibu, dan aku. 

Kadang kuhapus salah satunya, kalau mereka bertengkar. Tapi esoknya, aku gambar lagi. Lengkap. Karena aku selalu ingin kami lengkap.

Aku punya aplikasi kecil di tabletku. Di sana aku bisa menulis. Biasanya aku tulis hal-hal sederhana: “Aku lapar”, “Aku mau tidur”, atau “Aku sedih”. Tapi malam itu, aku menulis satu kalimat yang lama kutahan:

“Aku tahu kalian sedih. Tapi aku di sini. Aku sayang Ibu dan Ayah.”

Aku tunjukkan tulisan itu saat Ayah melempar jaket dan Ibu memukul meja. Mereka diam. Mata Ibu membulat, Ayah seperti ditampar oleh udara.

Tiba-tiba ibu memelukku dan menangis. Ayah terduduk di sofa mengusap dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.

Malam itu, mereka tidak tidur. Tapi juga tidak bertengkar. Hanya duduk di sofa, dalam diam yang lain, diam yang rapuh, tapi damai.

Malam itu ku ikuti apa yang biasa ibu lakukan. Berwudhu dan shalat malam.

Aku mungkin tak fasih bacaan shalat, tapi aku tahu niatnya. Tuhan maha sempurna, Ia pasti paham doa-doa yang kupanjatkan, walau tak berbahasa sama dengan bahasa Al-Quran.

Aku berdoa, dengan hati yang penuh harap. Air mataku jatuh, ku ungkapkan semua padaNya melalui bahasa hatiku.

"Tuhan, tak apa aku tak bisa mendengar ataupun berbicara. Aku rela. Aku hanya tak ingin keadaanku membuat kedua orang tuaku sedih dan tak lagi bahagia."

"Tuhan.. sekali saja buat aku bisa bicara dan menyampaikan rasa cintaku pada mereka. Aku ingin mereka tahu. Buat kami bahagia, seperti dalam gambar-gambarku.. aamiin.."

Malam itu aku kembali tidur. Dan baru saja memejamkan mata tiba-tiba datang cahaya indah kehadapanku, cahaya itu menyilaukan mata membuat aku menutupnya sejenak.

Saat membuka mata, aku berada di tengah padang rumput dengan bunga warna warni nan indah. Tak lama terlihat ayah dan ibu melambaikan tangannya seakan memberikan isyarat agar aku mendekat.

"Tiara... Sini sayang, ayo sini!" Ungkap ayah dan ibu.

Aku tertegun, ada yang berbeda malam ini. Ya, tak sesunyi biasanya, telingaku menangkap sesuatu, tak lagi hening. Aku bisa mendengar suara, aku juga melihat senyuman dan cinta.

Aku segera berlari ke arah mereka. Tak kusia-siakan momen itu. Aku coba berbicara, aku sampaikan besarnya rasa cintaku pada ayah dan ibuku lewat kata-kata dari mulutku sendiri. 

Tak lama ayah dan ibu memelukku erat, kami bercanda bersama. Jika ini mimpi, tak ingin terbangun rasanya. Aku tak mau pelukan dan genggaman ini terlepas.

Tapi lagi-lagi mataku terbuka. Kulihat langit-langit kamarku, kurasakan kesunyian di sekitarku. Aku bermimpi, indah, tapi teramat singkat.

Hanya saja hangat itu masih tertinggal rasanya. Kupalingkan pandangan melihat ke arah selimutku, ada tangan ayah dan ibu disana. Segera ku lihat sisi kiri dan kananku. Ada mereka menemani tidurku. 

Ini adalah pertama kalinya hal itu terjadi. Rasa takut kembali datang. Aku takut, lagi-lagi ini hanya mimpi. Sebuah mimpi di dalam mimpi.

Segera kupejamkan kembali mataku dan berdoa. "Tuhan, jangan lagi. Aku mohon!"

                                        ***

Keesokan harinya, kudapati aku kembali tidur sendiri. Tanpa ayah dan ibu. "Apakah hanya mimpi?" tanyaku.

Tapi saat aku menuju dapur aku lihat ada pemandangan berbeda. Ayah dan ibu saling membantu memasak bersama.

Ibu membuatkan pan cake kesukaanku dengan cantik. Tangannya masih gemetar, tapi ia tersenyum. Ayah menggenggam pundaknya. Kami sarapan bersama dengan hangat.

Usai sarapan, ayah dan ibu memintaku mandi dan bersiap. Kutangkap pesan bahwa mereka ingin mengajakku pergi.

Ayah dan ibu membawaku ke taman kota. Walau latarnya berbeda tapi suasananya persis mimpi tadi malam. Ada lambaian tangan, pelukan dan kebahagiaan.

"Tuhan.. ini indah, ini keajaiban!"

Dan saat itu aku tak takut lagi bermimpi. Biar kunikmati saja semuanya.

Saat hendak pulang, ayah dan ibu membelikanku crayon baru. Katanya, agar gambaranku tidak "hanya hitam-putih". Tak lupa aku berterimakasih dan memeluk mereka.

                                          ***

Hari-hari berikutnya, perlahan, aku melihat perubahan kecil tapi berarti. Ayah mulai mencari tahu tentang bahasa isyarat. Kadang dia mengajak aku latihan dengan susah payah, tapi penuh semangat.

Ibu pun mulai berhenti berbicara dengan cepat. Dia belajar menatap mataku, dan menyertakan isyarat tangan saat bicara. Mungkin ini caranya menerimaku, anak yang berbeda.

Aku menggambar lagi. Ada rumah. Ada tiga orang. Ada pelangi di atas kepala mereka.

Tapi yang membuatku hampir menangis adalah saat melihat Ayah dan Ibu tengah berdiri di belakangku, berpegangan tangan; pelan, ragu, tapi nyata. 

Mereka bertatapan. Tak ada kata maaf. Tapi tatapan itu; penuh luka yang perlahan belajar sembuh. Penuh kenangan, dan sedikit keberanian untuk kembali mencoba.

Sejak itu, Ayah tak lagi bicara dengan nada marah. Ibu tak lagi terlihat sedih. Aku mengajari mereka berisyarat, pelan-pelan, dengan sabar. Kami seperti anak-anak yang baru belajar bicara, tapi dengan cinta yang hangat.

Kini, setiap pagi ibu menyeduh kopi untuk ayah. Kadang dengan terlalu banyak gula, dan mereka tertawa. Ibu menyiapkan bekal Ayah, dengan tulisan kecil di tisu: “Terima kasih sudah tetap di sini.”

Dan aku? Aku masih menggambar. Tapi tidak lagi dengan garis tebal penuh tekanan. Kini warnanya lebih banyak; biru, merah muda, jingga, hijau..

Dan hari ini aku menulis di aplikasiku:

“Aku tak bisa bicara. Tapi kini mereka mulai mendengar. Dan itu sudah cukup!”

Catatan kecil:

Kisah ini terinspirasi dari perjalanan salah satu peserta didik saya, seorang anak istimewa yang mengajarkan makna cinta tanpa suara dan penerimaan tanpa syarat. Melalui kisah ini, saya berharap para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) bisa melihat harapan di tengah kesunyian, menemukan kekuatan di balik perbedaan, dan meyakini bahwa setiap anak apapun kondisinya layak dicintai dan diterima sepenuh hati. Karena sejatinya, cinta yang tulus adalah bahasa paling universal yang bisa dimengerti oleh setiap orang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun