Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Profesi Guru Adalah Profesi Yang Sangat Mengancam Nyawa?

25 Mei 2025   17:25 Diperbarui: 25 Mei 2025   17:25 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Profesi Guru (Sumber: freepik/fitrianinabila7)

Profesi guru adalah profesi yang sangat mengancam nyawa.”
Ungkapan dari Dr. Vewin Wibowo, M.Com ini sempat menggelitik benak banyak orang. 

Di tengah glorifikasi guru sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa", benarkah profesi ini kini menjadi salah satu pekerjaan berisiko tinggi? 

Apakah hanya karena gaji yang kecil? Ternyata bukan. Di balik tugas mendidik dan membimbing, banyak guru menghadapi situasi yang secara harfiah mempertaruhkan nyawa mereka.

Imajinasi vs Realita

Ketika kecil, banyak dari kita membayangkan guru sebagai sosok yang mulia, duduk di meja depan kelas dengan tenang, mengajar dengan penuh kasih, dan dihormati oleh seluruh murid. Tapi realita hari ini jauh lebih kompleks. 

Menjadi guru bukan hanya tentang menyampaikan materi, tetapi juga menjadi pelindung, konselor, bahkan kadang pengganti orang tua.

Salah satu rekan saya, Bu Sari (nama samaran), pernah berkata, “Kita tidak hanya mengajar, tapi juga menghadapi tekanan dari orang tua murid, dari atasan, bahkan dari lingkungan sosial yang tak selalu mendukung.” 

Imajinasi manis tentang guru rupanya menyimpan getir yang sering tak terlihat mata.

Risiko Fisik yang Mengintai

Banyak guru di Indonesia bekerja di wilayah terpencil, di mana akses jalan sangat sulit. Saya mengenal Pak Arman, seorang guru honorer di pedalaman Kalimantan yang harus menyebrangi sungai menggunakan rakit setiap hari. 

Suatu waktu, perahunya hampir terbalik karena derasnya arus. “Saya sempat terpikir untuk berhenti,” katanya, “tapi kalau saya mundur, siapa yang akan ajar anak-anak di sini?”

Bahkan di perkotaan, kasus kekerasan terhadap guru terus muncul. Seorang rekan guru SMP di Jawa Timur pernah diserang oleh orang tua murid hanya karena menegur anaknya yang berkelahi. 

“Saya trauma masuk kelas,” ujarnya, “padahal saya hanya ingin mendidik.” 

Kasus serupa juga terjadi di berbagai wilayah; guru dipukul, dijewer balik, bahkan dilaporkan secara hukum atas tindakan mendidik yang dianggap menyakiti.

Tekanan Psikologis yang Melelahkan

Tekanan bukan hanya datang secara fisik, tapi juga mental. Tuntutan administrasi yang berlapis-lapis, nilai siswa yang harus bagus demi citra sekolah, serta ekspektasi orang tua yang sering tak rasional menjadi beban tersendiri. 

Guru hari ini dituntut untuk jadi multitasker: mengajar, mendampingi, membuat laporan, hingga aktif di media sosial sekolah.

Bu Retno, guru SMK di Bandung, pernah mengaku menangis saat malam karena merasa gagal menjadi ibu yang baik bagi anaknya sendiri. 

“Di sekolah saya habis-habisan untuk anak orang lain, berangkat pagi pulang sore, tapi di rumah, anak saya merasa diabaikan.” 

Guru, terutama perempuan, sering terjebak dalam peran ganda yang menuntut kesempurnaan dari semua sisi, tanpa ruang untuk lelah.

Bahkan, ada juga kasus yang mencatat guru yang terkena serangan jantung setelah dikejar deadline laporan atau kegiatan nonstop tanpa istirahat. Sayangnya, semua ini jarang menjadi sorotan publik.

Kurangnya Perlindungan dan Kesejahteraan

Ironisnya, guru di Indonesia, terutama yang berstatus honorer, sering kali tidak mendapat perlindungan yang layak. Gaji yang tidak setara dengan UMR, tidak adanya asuransi kerja, dan perlindungan hukum yang lemah membuat posisi guru sangat rentan.

Pak Frans, guru honorer di sebuah desa di NTT, hanya digaji Rp300 ribu per bulan. Itu pun kadang telat. “Saya bertahan karena cinta,” katanya lirih. 

Namun, apakah cinta saja cukup untuk membeli beras, membayar listrik, atau mengobati anak yang sakit?

Bahkan ketika guru menghadapi ancaman kekerasan, mereka sering tidak tahu harus melapor ke mana. Ketika salah sedikit, mereka bisa menjadi sasaran tuntutan hukum, sementara jika diserang, bantuan sering datang terlambat atau bahkan tak datang sama sekali.

Budaya Simbolik Tanpa Aksi Nyata

Setiap tanggal 25 November, kita merayakan Hari Guru. Sekolah-sekolah menggelar upacara, menyanyikan lagu “Hymne Guru”, dan memberi bunga atau kue kecil. Tapi bagaimana nasib guru di tanggal-tanggal lain dalam setahun?

“Waktu Hari Guru semua senyum, kasih puisi. Tapi sebulan setelahnya, guru disalahkan karena nilai UN rendah,” ujar seorang guru SMA di Tasikmalaya. Budaya simbolik ini membuat banyak guru merasa dihargai secara basa-basi, tapi diabaikan dalam hal substansi.

Apresiasi bukan sekadar slogan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk nyata: regulasi perlindungan, peningkatan kesejahteraan, dan pengakuan yang tidak hanya datang setahun sekali.

Seruan untuk Perubahan

Jika profesi guru benar-benar berisiko tinggi, sudah waktunya pemerintah dan masyarakat bersikap serius. Dibutuhkan:

  • Sistem pelaporan dan perlindungan hukum yang jelas bagi guru,
  • Jaminan kesehatan dan keselamatan kerja,
  • Gaji layak bagi semua guru, termasuk honorer,
  • Dukungan psikososial untuk mencegah burnout.

Guru tidak boleh dibiarkan menjadi korban. Mereka harus ditempatkan sebagai subjek pembangunan pendidikan, bukan sekadar instrumen sistem.

Mari Renungkan, Apakah Benar Profesi Guru adalah profesi yang sangat mengancam nyawa?

Pertanyaan “Guru adalah profesi yang sangat mengancam nyawa?” mungkin terdengar ekstrem. Tapi jika kita jujur, terlalu banyak kisah nyata yang membenarkannya. 

Guru mendidik dalam ketakutan, bekerja dalam tekanan, dan hidup dalam ketidakpastian. Jika satu nyawa guru saja hilang karena pengabdiannya, itu sudah cukup menjadi alarm keras bagi kita semua.

Sudah saatnya kita berhenti meninabobokan diri dengan puisi dan slogan. 

Jika guru adalah penentu masa depan bangsa, mengapa mereka justru menjadi pihak yang paling rentan? Mari jawab dengan tindakan, bukan hanya tepuk tangan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun