Kurangnya Perlindungan dan Kesejahteraan
Ironisnya, guru di Indonesia, terutama yang berstatus honorer, sering kali tidak mendapat perlindungan yang layak. Gaji yang tidak setara dengan UMR, tidak adanya asuransi kerja, dan perlindungan hukum yang lemah membuat posisi guru sangat rentan.
Pak Frans, guru honorer di sebuah desa di NTT, hanya digaji Rp300 ribu per bulan. Itu pun kadang telat. “Saya bertahan karena cinta,” katanya lirih.
Namun, apakah cinta saja cukup untuk membeli beras, membayar listrik, atau mengobati anak yang sakit?
Bahkan ketika guru menghadapi ancaman kekerasan, mereka sering tidak tahu harus melapor ke mana. Ketika salah sedikit, mereka bisa menjadi sasaran tuntutan hukum, sementara jika diserang, bantuan sering datang terlambat atau bahkan tak datang sama sekali.
Budaya Simbolik Tanpa Aksi Nyata
Setiap tanggal 25 November, kita merayakan Hari Guru. Sekolah-sekolah menggelar upacara, menyanyikan lagu “Hymne Guru”, dan memberi bunga atau kue kecil. Tapi bagaimana nasib guru di tanggal-tanggal lain dalam setahun?
“Waktu Hari Guru semua senyum, kasih puisi. Tapi sebulan setelahnya, guru disalahkan karena nilai UN rendah,” ujar seorang guru SMA di Tasikmalaya. Budaya simbolik ini membuat banyak guru merasa dihargai secara basa-basi, tapi diabaikan dalam hal substansi.
Apresiasi bukan sekadar slogan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk nyata: regulasi perlindungan, peningkatan kesejahteraan, dan pengakuan yang tidak hanya datang setahun sekali.
Seruan untuk Perubahan
Jika profesi guru benar-benar berisiko tinggi, sudah waktunya pemerintah dan masyarakat bersikap serius. Dibutuhkan:
- Sistem pelaporan dan perlindungan hukum yang jelas bagi guru,
- Jaminan kesehatan dan keselamatan kerja,
- Gaji layak bagi semua guru, termasuk honorer,
- Dukungan psikososial untuk mencegah burnout.