Mulai dari memperkenalkan ilustrasi menstruasi dalam bentuk gambar atau buku cerita, memutar video edukatif, menggunakan boneka sebagai media simulasi, hingga membiasakan anak menyentuh dan mengenal tekstur pembalut dengan cara yang aman dan menyenangkan.
Membangun Rasa Aman dan Pemahaman
Pendekatan ini tidak dilakukan secara instan, melainkan melalui rutinitas harian yang konsisten. Anak diajak untuk berbicara, bertanya, dan mengekspresikan perasaannya tentang menstruasi.Â
Dalam tahap lanjutan, anak dibimbing untuk mencoba menggunakan pembalut secara bertahap, dimulai dari hanya menyentuh, menempelkan pada pakaian, hingga benar-benar menggunakannya saat haid datang kembali.
Hasilnya sangat menggembirakan. Anak yang sebelumnya panik kini mulai memahami bahwa menstruasi adalah proses alami. Ia tidak lagi menangis atau berteriak ketika haid datang, dan secara perlahan mulai menerima penggunaan pembalut sebagai bagian dari rutinitas hariannya.
Menuju Pendidikan Inklusif yang Responsif
Strategi desensitisasi dalam pendidikan inklusif menunjukkan bahwa pendekatan empatik dan individual mampu menjawab tantangan yang kerap diabaikan dalam sistem pendidikan umum.
Pendidikan pubertas bagi anak berkebutuhan khusus tidak bisa hanya berupa ceramah di kelas. Dibutuhkan pemahaman akan keunikan respons setiap anak dan intervensi berbasis kebutuhan.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa inklusi sejati bukan hanya menerima keberadaan anak dengan kebutuhan khusus di ruang kelas, tetapi juga memastikan mereka mampu menghadapi fase kehidupan dengan kesiapan emosional dan sensorik.Â
Dengan pendekatan yang tepat, mereka pun dapat tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, berdaya, dan mampu menjalani kehidupan dengan lebih mandiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI