Ketika fajar masih malu-malu menyibak gelap, saya sudah terjaga. Mengawali hari bukan semata karena tanggung jawab, tetapi karena semangat yang menyala dari dalam.
Saya menyandang banyak peran: sebagai ibu dari anak-anak yang tengah bertumbuh, sebagai guru bagi siswa-siswi dengan kebutuhan khusus, sebagai mahasiswa yang sedang melanjutkan pendidikan, serta perempuan yang tak ingin berhenti berkarya, meski dengan segala keterbatasan waktu, tenaga, dan ruang.
Hidup saya mungkin tak tampak istimewa dari luar. Namun di setiap langkah kecil yang saya tempuh, saya merasa tengah melanjutkan api perjuangan yang pernah dinyalakan Kartini; api tentang harapan, tentang hak untuk belajar, tentang hak untuk memilih, dan hak untuk berkarya dan mengembangkan potensi.
Kartini: Dari Surat ke Aksi Nyata
Bagi saya, Hari Kartini bukan sekadar nostalgia mengenakan kebaya dan menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini”. Bukan pula sekadar seremoni di sekolah atau unggahan ucapan di media sosial.
Hari Kartini adalah momen refleksi: apakah semangat yang dulu dituliskannya dalam surat-surat, masih kita warisi dan hidupi hari ini?
Kartini berbicara tentang pendidikan perempuan, bukan untuk menjadikannya lebih tinggi dari laki-laki, tapi agar perempuan bisa berpikir, memutuskan, dan berdiri di atas kaki sendiri.
Dan hari ini, perempuan tidak lagi dibatasi oleh tembok rumah; tapi kadang justru terpenjara oleh ekspektasi masyarakat yang tak terlihat: harus tampil sempurna, tak boleh gagal, dan dituntut serba bisa.
Saya pun pernah terjebak dalam itu. Merasa harus menjadi ibu yang selalu hadir penuh, istri yang tetap sabar, guru yang profesional, mahasiswa yang disiplin, sekaligus penulis yang produktif.
Namun, perlahan saya belajar: menjadi perempuan bukan soal memenuhi semua peran dengan sempurna, tapi menjalaninya dengan utuh; dengan cinta, keberanian, dan kesadaran bahwa setiap hari kita sedang mengukir sejarah kecil.