“Bu, kata Bu guru, besok aku harus pakai kebaya ya!”
Sore ini, anak perempuan saya meminta disiapkan kebaya. Rupanya esok mereka akan memperingati Hari Kartini.
Tanpa banyak tanya, saya segera membuka lemari, mencari kembali kebaya mungil yang tahun lalu pernah dipakainya. Momen sederhana ini mengingatkan saya bahwa semangat Kartini ternyata masih melekat, bahkan di benak anak-anak kecil masa kini.
Baca juga: Perempuan dan "Mental Load" yang Tak Terucap
Hari Kartini bukan sekadar soal kebaya, sanggul, atau pawai budaya. Kartini adalah tentang perempuan yang berani berpikir, melawan keterbatasan, dan bergerak maju demi masa depan yang lebih setara.
Kini, semangat itu hidup dalam rupa yang tak selalu tampak di televisi atau media sosial; tetapi nyata, dan bekerja dalam senyap.
Kartini-Kartini yang Bergerak dalam Sunyi
Di sudut-sudut desa, banyak Kartini masa kini yang tidak kita kenal namanya.
Ada ibu-ibu yang membagi waktunya antara mengurus anak dan berjualan sayur keliling, guru honorer yang tetap setia mendidik meski gaji belum cair, perawat yang berjaga di malam hari saat anaknya sedang demam, hingga perempuan penyandang disabilitas yang tetap tersenyum menjahit pakaian demi biaya sekolah adiknya.
Mereka mungkin tidak menyuarakan perubahan lewat pidato, tapi langkah kecil mereka adalah denyut nadi bangsa ini.
Di dunia profesional, Kartini masa kini semakin menunjukkan eksistensinya. Di balik layar teknologi, banyak perempuan menjadi software engineer, content creator edukatif, atau pegiat startup sosial.