Pengepungan di Bukit Duri: Teriakan Sunyi dari Dunia Pendidikan dan Kekerasan Remaja
Ketika layar dibuka dengan sorotan suasana mencekam di SMA Duri, kita tahu ini bukan sekadar film aksi. Pengepungan di Bukit Duri, karya terbaru Joko Anwar, bukan hanya menyuguhkan ketegangan, tapi juga menyuarakan jeritan diam anak-anak yang terpinggirkan dalam sistem sosial yang pincang.
Film ini mengisahkan Edwin (diperankan oleh Morgan Oey), seorang guru yang berusaha menemukan keponakannya yang hilang. Pencariannya membawanya ke SMA Duri, sebuah sekolah khusus untuk anak-anak bermasalah.
Namun, situasi berubah menjadi mimpi buruk ketika kerusuhan sosial melanda kota, membuat Edwin, keponakannya, dan beberapa murid lainnya terjebak di dalam sekolah tersebut. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar kini berubah menjadi arena pertempuran brutal demi bertahan hidup .
Di balik adegan brutal dan suasana terkurung, tersimpan pesan-pesan tajam tentang pendidikan, keluarga, dan perjuangan bertahan di tengah kekacauan. Film ini bukan hanya tontonan, tapi sebuah pelajaran sosial yang menohok dan sangat relevan dengan realitas hari ini.
Potret Buram Anak-Anak yang Terlupakan
SMA Duri bukan sekadar setting cerita, melainkan simbol. Anak-anak yang ada di sana dianggap “sampah masyarakat” yang dibuang oleh sistem, orang tua, bahkan oleh dirinya sendiri.
Tapi film ini membalik persepsi: anak-anak yang keras dan rusak bukan lahir begitu saja. Mereka dibentuk oleh realitas yang kasar, kekerasan domestik, tekanan ekonomi, dan minimnya kasih sayang.
Realita seperti ini bukan fiktif semata. Kita lihat sendiri dalam berbagai berita viral. Anak-anak yang melakukan perundungan, tawuran, hingga kekerasan seksual; semuanya tidak lepas dari ekosistem yang membentuknya.
Banyak dari mereka adalah korban dari lingkungan yang abai. Ketika sekolah hanya fokus pada nilai akademik, dan rumah tidak memberikan kehangatan emosional, anak-anak akhirnya belajar bertahan dengan cara yang keliru.
Saat Sekolah Tak Lagi Aman
Kita tak bisa menutup mata, kekerasan di sekolah semakin sering terjadi. Beberapa kasus bullying berujung luka fisik, bahkan kematian.
Di sisi lain, ada pula guru yang frustrasi, kehilangan kendali, atau bahkan ikut melakukan kekerasan terhadap murid. Situasi ini mencerminkan krisis dalam dunia pendidikan kita, di mana sekolah tak lagi menjadi rumah kedua yang aman.
Pengepungan di Bukit Duri menggambarkan ini semua dalam balutan thriller yang mencekam. Namun di balik layar, kita disadarkan bahwa anak-anak seperti Jefri dan Diana bisa saja adalah siswa di sekitar kita; yang duduk diam, menyimpan luka, dan menunggu seseorang cukup peduli untuk mendengar.
Pelajaran yang Menggema
Dari film ini, kita diingatkan:
- Setiap anak membawa cerita. Di balik sikap kasar atau acuh, bisa jadi ada trauma yang belum selesai.
- Guru adalah garda depan. Bukan sekadar pengajar, tetapi pendamping yang bisa menyelamatkan jiwa.
- Pendidikan butuh hati. Kurikulum dan teknologi tidak akan berarti tanpa empati.
- Orang tua harus hadir. Fisik saja tak cukup, anak butuh didengar, dipeluk, dan diterima tanpa syarat.
Menonton Sambil Merenung
Pengepungan di Bukit Duri bukan sekadar hiburan. Ia adalah refleksi sosial. Ia adalah cermin kita; orang dewasa yang terlalu sering abai, terlalu cepat menghakimi.
Film ini mengajak kita melihat lebih dalam bahwa anak-anak tidak hanya butuh sekolah, tapi juga pelukan. Tidak hanya butuh aturan, tapi juga ruang untuk bercerita.
Di tengah meningkatnya kekerasan anak di sekolah dan di rumah, film ini seperti peringatan keras. Jika kita tidak hadir untuk mereka hari ini, maka kita akan menyaksikan mereka “terkunci” dalam lingkaran luka yang berulang.
Karena di balik setiap anak yang “bermasalah”, sering kali ada dunia orang dewasa yang gagal memahami.
Maka, daripada sibuk menyalahkan atau memberi label, sudah saatnya kita sebagai orang dewasa berhenti sejenak untuk benar-benar mendengarkan.
Mungkin yang mereka butuhkan bukan hukuman atau ceramah panjang, melainkan satu pelukan hangat, satu kalimat “aku percaya padamu,” dan ruang aman untuk menjadi diri sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI