Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Belajar dari Bukit Duri: Refleksi Sosial Lewat Film Joko Anwar

17 April 2025   08:00 Diperbarui: 17 April 2025   11:49 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengepungan di Bukit Duri: Teriakan Sunyi dari Dunia Pendidikan dan Kekerasan Remaja

Ketika layar dibuka dengan sorotan suasana mencekam di SMA Duri, kita tahu ini bukan sekadar film aksi. Pengepungan di Bukit Duri, karya terbaru Joko Anwar, bukan hanya menyuguhkan ketegangan, tapi juga menyuarakan jeritan diam anak-anak yang terpinggirkan dalam sistem sosial yang pincang.

Film ini mengisahkan Edwin (diperankan oleh Morgan Oey), seorang guru yang berusaha menemukan keponakannya yang hilang. Pencariannya membawanya ke SMA Duri, sebuah sekolah khusus untuk anak-anak bermasalah. 

Namun, situasi berubah menjadi mimpi buruk ketika kerusuhan sosial melanda kota, membuat Edwin, keponakannya, dan beberapa murid lainnya terjebak di dalam sekolah tersebut. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar kini berubah menjadi arena pertempuran brutal demi bertahan hidup .

Di balik adegan brutal dan suasana terkurung, tersimpan pesan-pesan tajam tentang pendidikan, keluarga, dan perjuangan bertahan di tengah kekacauan. Film ini bukan hanya tontonan, tapi sebuah pelajaran sosial yang menohok dan sangat relevan dengan realitas hari ini.

Potret Buram Anak-Anak yang Terlupakan

SMA Duri bukan sekadar setting cerita, melainkan simbol. Anak-anak yang ada di sana dianggap “sampah masyarakat” yang dibuang oleh sistem, orang tua, bahkan oleh dirinya sendiri. 

Tapi film ini membalik persepsi: anak-anak yang keras dan rusak bukan lahir begitu saja. Mereka dibentuk oleh realitas yang kasar, kekerasan domestik, tekanan ekonomi, dan minimnya kasih sayang.

Realita seperti ini bukan fiktif semata. Kita lihat sendiri dalam berbagai berita viral. Anak-anak yang melakukan perundungan, tawuran, hingga kekerasan seksual; semuanya tidak lepas dari ekosistem yang membentuknya. 

Banyak dari mereka adalah korban dari lingkungan yang abai. Ketika sekolah hanya fokus pada nilai akademik, dan rumah tidak memberikan kehangatan emosional, anak-anak akhirnya belajar bertahan dengan cara yang keliru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun