Mohon tunggu...
Nuh MuhammadYunus
Nuh MuhammadYunus Mohon Tunggu... Freelancer - Historian

Belum terkilat, sudah terkelam!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengakuan

28 Agustus 2019   03:21 Diperbarui: 28 Agustus 2019   19:05 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi tidak apa-apa. Untung saja yang berkuasa dan memerintah itu, orang-orang kampung kami. Dengan begitu, kami bisa menepuk dada. Bersorak-sorak pada daerah lain, sambil berucap " lihatlah!! Negara ini didirikan oleh orang-orang kampung kami, kalian jangan macam-macam. Coba kalian lihat? Orang mana Hatta, Tan malaka, Sjahrir, Agus Salim, Natsir, Hamka dan yang lain dan ribuan jumlahnya itu?" Begitulah sorak-sorak kami pada orang-orang dari daerah lain, menyombongkan diri.

Namun, setelah bertahun-tahun dan Negara telah aman dan perang telah tiada,  ternyata saya  tidak dianggap sebagai tentara. Maka saya ajak tentara yang lain bersepakat. Lalu, kami berkeputusan, kami harus melawan, memberontak pada pusat. Maka kami dengung-dengungkanlah bahwa kampung kami telah dianak-tirikan Jakarta. Agar orang-orang kampung kami, mau mengikuti kami.

Lalu kami buat pemerintahan sendiri, PRRI kami beri nama. Orang-orang pusat itu kami perangi. Lalu, terjadilah perang saudara yang tidak bisa dielakan. Beribu-ribu orang sebangsa kami bunuh dan kami korbankan. Dan ternyata kami kalah, mungkin karena salah. Dan setelah itu saya berucap " ini demi daerah!". Padahal waktu itu, saya dan yang lainnya hanya ingin dinaikan pangkat, diakui dan digaji tinggi.

***

Pada masa Orde Baru, inilah masa-masa jaya. Kami yang sudah tidak jadi tentara lagi, kini dijadikan pejabat-pejabat pemerintah. Digaji tinggi. Bahkan istripun bertambah. Hidup mewah.

Mula-mula saya diangkat jadi bupati di kampung ini, lalu gubernur dan terakhir jadi menteri. Disaat jadi menteri inilah, saya banyak dapat proyek dari luar negeri. Maka saya buatlah pabrik-pabrik di kampung ini. Hutan-hutannya kami gunduli. Hasil alamnya kami jarah, lalu saya jual ke negara lain. Dan saya bohongi rakyat dikampung ini. Ini demi kesejahteraan rakyat.


Padahal kalau dilihat-lihat rakyat di sini semakin miskin. Banyak orang yang busung lapar. Banyak anak yang tidak sekolah. Bahkan bencana alam sering terjadi akibat ulah kami. Tanah longsor, banjir, kabut asap, setiap saat datang tanpa diundang. Tapi kami tak peduli itu semua. Yang penting proyek berjalan dengan lancar. Dan pundi-pundi di saku kami terus bertambah.

Lalu di kala rakyat menuntut keadilan, mahasiswa berdemo, meminta reformasi. Maka, saya maki-makilah mahasiwa itu. Saya berkata" kalian adalah mahasiswa yang tidak tau apa-apa. Masih bau kencur. Sok-sok berjuang. Kalian harus belajar pada para pejuang-pejuang seperti kami ini. Jangan asal demo saja, jangan asal tuntut reformasi!" maki saya pada waktu itu. Padahal sebenarnya waktu itu, saya ketakutan, jika penguasa tumbang tentu kami sudah tidak bisa lagi bersenang-senang.

***

"Dan kini saya dianggap pejuang, dianggap pahlawan, diberi penghargaan. Setelah pengkianatan-pengkianatan yang saya lakukan. Mengapa saya tidak akan menangis? Oh. Ibu Pertiwi, sudah berapa banyak dosa yang saya beri?" Kata bapak tua yang berbaju veteran itu berkisah, setelah upacara memperingati hari kemerdekaan selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun