Mohon tunggu...
Nuha Adistya Arifandi
Nuha Adistya Arifandi Mohon Tunggu... Lainnya - Siswi SMAN 28 Jakarta

Nuha Adistya A (28) - XI MIPA 5 - SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sandiwara Setahun Penuh

23 November 2020   14:18 Diperbarui: 24 November 2020   22:36 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mencintai memang tidak pernah menjadi sebuah kesalahan. Ia adalah jebakan yang patut dirayakan dengan sukaria, tidak tau akhirnya akan seperti apa. Adalah Anne de Bourgh, anak ke-3 dari 5 bersaudari yang paling tak bercela parasnya, kedua setelah kakak tertuanya. Batang hidung yang mungil, bibir yang penuh berwarna merah cerah, pipi yang ranum dan garis rahang yang menarik siapapun yang melihat. Ia tidak jauh berbeda dengan Jude, walau sikapnya bagai langit dan bumi. Jude sangat lembut, hampir seperti mengalus pada setiap pria yang diajaknya bicara. Ia juga terampil dalam segala hal yang – menurut mereka – wanita harus bisa lakukan – menjahit, memasak, membaca buku anak-anak dan memainkan alat musik untuk mengiringi pesta dansa kerajaan setiap 3 bulan selama hampir 1 jam penuh. Anne, berbeda. Anne seorang penganalisa. Sedikit galak, terlebih jika ia ragu dengan lawan bicaranya. Seorang yang suka berpetualang, kutu buku – William Shakespeare sudah pasti – penunggang kuda, dan memiliki semangat pendidikan dan harga diri yang sangat tinggi. Ibunya sering berceloteh tentang mencari pasangan hidup sejak setahun lalu, namun menurut Anne, hidup lebih dari itu. 1 kakak dan 2 adiknya yang lain menurutnya tidak jauh dari Jude, gemar menarik perhatian para lelaki disetiap mereka berjalan sore disekitar tempat mereka tinggal. Hanya saja, mereka sedikit lebih berisik.

Suatu malam, seperti perayaan tahunan pada umumnya, pesta dirayakan dengan lebih megah. Sesungguhnya Anne sudah lelah setelah seharian berbelanja di kota, namun ibunya memaksanya untuk ikut. “Agar kau bisa bergaul sedikit. Astaga! Kuhitung temanmu hanya 3, tidak terkecuali bunga lily dipekarangan belakang. Keluarga Mareth membawa saudara-saudara jauhnya dari Hertfordshire, kudengar mereka loyal dan tampan” kata ibuku, selalu. Jude sudah siap dengan gaun berwarna biru terangnya. Ia sangat cantik dan anggun mengenakannya, ditambah rambutnya yang digelung keatas, menyisakan beberapa helai disebelah kanan dan kirinya jatuh membelai wajahnya, hasil diikalkan dengan kain lembab semalaman. Ia tampak lebih cantik dari biasanya, dan berdandan terlalu berlebihan dibandingkan pesta musim panas tahun lalu. “Kau yakin akan mengenakan gaun itu? Kau sudah mengenakannya ke pesta dansa sebanyak 3x! Kemari, kenakan saja gaun lamaku yang kuning. Sudah agak sempit di tubuhku, tapi aku yakin kau akan sangat anggun mengenakannya” Jude menarik Anne ke tumpukan gaun disebelah rak sepatu, bersahutan dengan tumpukkan surat-surat Jude dengan kekasih jauhnya. Rumahnya sudah seperti kapal pecah, selalu begini setiap ada pesta. Sebenarnya alasan Anne tidak ingin ikut adalah bukan karena kakinya yang lelah setelah berjalan sejauh 6 mil, namun karena sahabat lamanya dari keluarga Mareth, yang pernah ia cintai dulu, ikut serta menghadiri pestanya. Nathaniel Mareth, atau Nath, adalah sahabat lama Anne yang, selama 1 tahun belakangan sudah tidak lagi berkabar, perihal permasalahan cinta yang rumit. Setelah 6 tahun bersahabat, Anne, yang sangat rumit, menunggu selama setengah jam dibawah ranting-ranting pohon anggur hingga akhirnya pernyataan cintanya meluncur dari kerongkongan, menghasilkan diam yang cukup panjang antara mereka berdua. Namun tidak seperti kebanyakan cerita bahagia yang ia baca di buku-buku perpustakaan desa, cerita untuknya berbeda. Nathan bertunangan, dengan seorang gadis dari pulau seberang. Nathan bilang ia sudah berhubungan lama dengannya. Keesokan harinya, ketika Nathan pulang, ia tidak lagi membalas surat-surat celotehan Anne yang berisik. Entah itu tentang sup ibunya yang kadang terlalu asin, atau ikan-ikan di danau yang menghilang secara misterius. Nathan hilang, dan tidak pernah kembali. Tidak hingga saat ini.

“Kau tampak sangat menawan!” pekik Jude dari ujung ruangan. Adik-adiknya yang sudah gelisah menunggu sejak 2 jam yang lalu melenguh.
“Ya, ya, menawan. Sekarang bergegaslah ambil sepatumu dan kita berangkat. Menunggumu 10 menit lagi atau aku ambil jatah makan malammu” celoteh Marrie, adik bungsunya. Ibunya memarahinya, menyuruh Marrie untuk bersikap baik. Aneh, biasanya tak begitu, namun Anne sudah terlalu pusing untuk memikirkannya. Anne bergegas memakai sepatu hak tingginya sambil tergesa-gesa menata rambutnya. Ayahnya yang membenci kerumunan pun ikut mengeluh bahwa ia ingin tidur, namun tentu saja tidak bisa atau Mrs. Winnie de Bourgh akan berceloteh sepanjang akhir pekan. Jude, yang seperti mengerti perasaan Anne, mengusap-usap pundaknya sembari berbisik ‘Ini akan baik-baik saja’, yang membuat Anne sedikit tenang.

Kereta kuda mereka bergerak dengan tergesa-gesa, sedikit berguncang karena tanah merah yang mereka lalui basah diterpa hujan siang tadi. Anne gelisah. Entah apa yang akan ia lakukan saat bertemu Nath. Mungkin ia akan menyapanya, menanyakan bagaimana perjalanannya kesini, lalu ia akan bersalaman dengan istrinya. Mungkin ia akan menanyakan kabarnya, dan juga istrinya. Ia tidak tau mana yang benar. Samar-samar, ia mendengar keributan dari arah keretanya berjalan. Anne dengan hati-hati menuruni kereta kudanya, menginjak beton basah yang tertusuk sepatu hak tingginya. Bahunya tegang. Ia melirik Jude, mendapatinya sama tegangnya dengan Anne. Jude segera menggenggam tangannya. “Silahkan masuk,” penjaga pintu istana sedikit membungkuk, membukakan pintu setinggi 3 meter kuno berukiran kayu. Aroma kue dan alkohol yang sebelumnya samar menyapa hidung, sekarang merebak keseluruh indra penciuman mereka. Aromanya khas, dengan bau kayu basah sehabis hujan dan sol-sol sepatu baru yang mengilap. Lampu yang sangat terang, ramai dan berisik. Orang-orang tertawa, beberapa pasangan menari, setengah mabuk. Anak-anak berlarian dengan selai berlumuran dibaju mereka. Suasananya hangat, persis seperti setahun lalu, saat pesta bersama keluarga Mareth masih bisa ia nikmati, ia rayakan.

Lagu pertama baru saja selesai ketika mereka menyambangi meja untuk duduk, menunggu lagu kedua dimainkan. Baru saat Anne melenggangkan matanya untuk mencari Rosemary, teman sebelah rumahnya, ketika itu juga penglihatannya bertubrukan dengan tatapannya. Berambut coklat sedikit ikal, berbahu lebar dan gagah dengan setelan jas berwarna biru gelap bernuansa klasik, dengan celana bludru hitam dan boots tanggung berwarna hitam bergaris emas yang menyilaukan. Persis, seperti apa yang Anne lihat terakhir kali mereka bertatap muka, hanya saja sekarang jambangnya lebih tipis. Ia tertegun, mereka berdua diam sejenak. Anggur yang berada ditangan Nathan diam tak bergeming, yang beberapa detik kemudian diletakkannya di meja. Nathan bergerak menghampirinya.
“Perpustakaan. Tunggu 5 menit setelah aku masuk” bisik Nathan yang segera melebur diantara kerumunan. Anne menghela nafas panjang. Ia melirik Jude, namun Jude memperhatikan Nathan menghilang hingga ke ujung. Jude tampak sangat gelisah. “Aku benar-benar tak ingin apapun yang buruk terjadi padamu, Anne”. Jude menggenggam tangan Anne sangat erat, agak sedikit sakit. Segera, Anne mengikuti jejak Nathan ketempat favoritnya dulu. Ia membuka pintu besi tersebut, aroma debu berebutan untuk menyapanya. Ia melihat Nathan bersandar disalah satu meja paling besar, menunduk.
“Jadi, mana istrimu?” tanya Anne tersenyum, tanpa basa-basi.
“Anne,-“
“Apakah ia jauh lebih baik dariku? Apakah ia mengirimimu surat setiap kali ia merasa cuaca terlalu dingin?
“Anne, tolong tutup mulutmu sebentar, aku-“
“Apakah ia selalu membawa tisu kemana pun kalian pergi karena kau sangat tidak suka kotor? Apakah ia selalu menemanimu duduk diatas dahan pohon ceri setiap minggu pagi? Apakah ia tau kau lebih suka katun dan bukannya bludru? Apakah ia tau semua tentangmu?” Anne tak kuasa menahan tangis. Air matanya panas, namun emosi sesak dalam dadanya lebih tinggi dan menyeruak. Ia tak memberi kesempatan Nathan bicara.
“Apakah ia.. jauh lebih baik dariku?” seketika Anne terdiam.
“Anne, kau mengenalnya” Sahut Nathan, datar.
“Apa?”

Nathan mengambil sebuah buku tebal yang sedikit berdebu diatas meja, yang tak disadari Anne buku itu ada disana hingga Nathan mulai membukanya. Anne menghampirinya. Perlahan, Nath membuka lembar demi lembar buku tersebut, lebih seperti dokumen. Anne tau itu buku apa. Mereka membelinya di pasar loak samping gereja, hari Jumat di musim gugur 3 tahun lalu. Anne mengamati jemari Nathan yang menari, memperlihatkan foto-foto mereka berdua yang tertempel lekat lembar per lembar. Sesekali ada wajah Jude, atau Rosemary, atau Billy, sepupu jauh Nathan. Kemudian ada surat. Banyak surat. Berlembar-lembar perkamen yang kotor digurat-gurat tinta hitam. Anne mulai memicingkan matanya. Itu bukan tulisan tangannya. Sesaat, Anne berfikir tentang siapa yang barangkali sering disurati Nath. Ia menelaah kesetiap sudut surat, kemudian menemukan jawabannya dipenghujung surat, dibubuhi tanda hati disebelah nama pengirimnya.

Jude.

Nathan menghela nafas panjang, tak tau harus berbuat apa. Anne masih tidak mengerti.
“Kenapa?” tanya Anne. Nathan berbalik menghadap wajah Anne, dan secara tiba-tiba, memegang bahunya erat.
“Aku tak ingin kau mendengar kabar ini dari siapapun selain aku. Bukankah sudah cukup jelas? Anne, sejak awal kita bersahabat, aku – maksudku, kita – tidak pernah berjanji untuk tidak boleh memiliki perasaan satu sama lain. Namun, seingatku, aku juga tidak pernah berjanji untuk memutus hubunganku jika itu terjadi”
“Kau, menikahi Jude?” Anne gemetar. Anne teringat tumpukkan surat disamping rak sepatu Jude. Jude bilang, itu dari kekasihnya.
“Seharusnya setahun lalu” Nathan mengusap wajahnya. “Pada saat kau mengutarakan perasaanmu padaku, seharusnya saat itulah aku menyampaikan berita ini padamu. Dan sebelum kau marah, tolong jangan salahkan aku mengapa aku menghilang selama setahun penuh. Aku tak ingin melukai perasaanmu dengan terus berhubungan denganmu, sedangkan aku akan menikahi kakak tertuamu. Ketahuilah, disini aku juga berkorban. Aku hampir tidak pernah bertemu kakakmu selama setahun penuh, karena aku takut menemuimu. Aku takut melukai perasaanmu. Aku takut kau membenciku.” Penjelasan dari Nathan cukup membuat Anne merasa semua udara yang seharusnya dihirupnya menghilang. Sesak. Selama ini ia dibohongi. Ia ditipu. Oleh keluarganya, temannya, sahabatnya, bahkan orang yang paling ia sayangi dan percaya dirumahnya. Semua menipunya. Anne benar-benar marah dan malu.
“Kau menunda pernikahanmu hanya karena takut melukai perasaanku?” tanya Anne, pelan.
“Kami semua takut Anne. Namun kami tidak menyalahkanmu. Aku tau, tidak ada cinta yang cukup tulus yang bisa dibohongi, bahkan oleh pemiliknya sendiri. Kau tidak bisa memilih cintamu untuk siapa, namun kau bisa memilih harus bertindak bagaimana.” Ujar Nathan, terlihat seperti membesarkan hati Anne. Hening sejenak.
“Ayo” kata Anne tiba-tiba.
“Apa?”
“Ayo kita rayakan”. Nathan semakin bingung. Anne sedikit terkekeh, air matanya sudah berebutan untuk jatuh sedari tadi.
“Ayo kita rayakan patah hatiku, milikku. Kalau ada yang seharusnya disalahkan, itu aku. Aku membencimu, memang, namun hanya separuh. Hatiku mati. Tapi, hey, ayolah! Merayakan patah hatiku tak seburuk merayakan hari istimewamu.” Nathan mulai khawatir. Ia memegang punggung Anne, hampir jatuh. Nathan terkejut ia tidak pingsan.
“Ayo, berdansa denganku. Merayakan manipulasi paling mahir dan indah darimu dan orang-orangku. Untuk hati yang mati dan duka yang berseri,” Anne tersenyum, ia memegang pipi kiri Nathan.

"Selamat menempuh hidup baru, Nath”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun