Mohon tunggu...
Nugroho Iman Santosa
Nugroho Iman Santosa Mohon Tunggu... ASN Kementerian Keuangan

ASN Kementerian Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Meningkatkan Pelayanan Publik melalui Kebijakan Belanja Wajib Infrastruktur pada APBD

14 Februari 2025   19:10 Diperbarui: 15 Februari 2025   00:47 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penerapan sistem desentralisasi yang dimulai pada tahun 2001 dengan pembagian urusan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertujuan untuk mendekatkan pemenuhan pelayanan publik kepada masyarakat. Pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat, sehingga pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan melaksanakan semua urusan pemerintahan kecuali agama, pertahanan negara, kebijakan fiskal dan moneter, politik luar negeri, dan peradilan, serta menandai diberlakukannya sistem fiskal baru yang lebih baik antar tingkat pemerintahan (Hofman dan Kaiser, 2002).

Kebijakan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal merupakan fondasi yang kuat bagi Indonesia untuk terus memperbaiki dan mengevaluasi kebijakannya. Payung hukum yang mendasari kebijakan tersebut telah beberapa kali direvisi, dengan aturan terakhir yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).

Penyempurnaan kebijakan tersebut merupakan upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui HKPD yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, HKPD berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan HKPD dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan transfer ke daerah dan pembiayaan utang daerah, mendorong peningkatan kualitas belanja daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara pemerintah dan daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal.

Untuk meningkatkan kualitas belanja daerah, salah satu strategi yang dilakukan pemerintah adalah melalui pengaturan belanja wajib infrastruktur pelayanan publik paling rendah 40% pada APBD. Selain untuk meningkatkan kualitas belanja, infrastruktur juga merupakan program prioritas pemerintah bahkan saat ini juga menjadi salah satu bagian dari program prioritas presiden.

Kebijakan ini telah dilaksanakan mulai Tahun 2022 sejak UU Nomor 1 Tahun 2022 ditetapkan. Meskipun demikian, untuk penyesuaian bagi pemerintah daerah dalam memenuhi kebijakan belanja infrastruktur paling rendah 40%, diberikan waktu sampai dengan 5 Tahun sejak ketentuan tersebut berlaku. Praktis mulai 2027, seluruh pemerintah daerah wajib membelanjakan APBD nya paling rendah 40% dari APBD untuk kegiatan yang terkait dengan infrastruktur pelayanan publik. Sebagai guidance, pemerintah pusat telah menetapkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 11 Tahun 2024 tentang Penandaan Rincian Belanja Infrastruktur Pelayanan Publik Untuk Evaluasi Pemenuhan Belanja Wajib dalam APBD.

Bagaimana implementasi kebijakan tersebut dilaksanakan oleh pemerintah daerah? Dengan menggunakan penandaan rincian belanja infrastruktur pelayanan publik berdasarkan KMK Nomor 11 Tahun 2024 pada APBD murni, diperoleh data rata-rata pemenuhan belanja wajib infrastruktur pelayanan publik pada tahun 2022 – 2024 sebagai berikut:

  • Tahun 2022 : 25% (rata-rata dari 542 daerah)
  • Tahun 2023 : 28,6% (rata-rata dari 542 daerah)
  • Tahun 2024 : 33,9% (rata-rata dari 546 daerah)

Dalam masa transisi menuju 2027, melihat data Tahun 2022 - 2024 Pemerintah Daerah menunjukkan komitmen peningkatan dalam pemenuhan kebijakan tersebut. Pada Tahun 2024, rata-rata pemenuhan belanja infrastruktur pelayanan publik mencapai 33,9%, meningkat sebanyak 8,9% dibandingkan dengan Tahun 2022 awal penerapan kebijakan.

Agar Kebijakan belanja wajib infrastruktur pelayanan publik di daerah dapat memberikan dampak yang optimal bagi percepatan pembangunan di daerah serta berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat, ada berbagai tantangan yang harus dihadapi bersama-bersama, yaitu:

Pengaturan yang jelas dan agile

Infrastruktur merupakan nomenklatur yang umum di masyarakat. Terdapat banyak pakar dan ahli yang memberikan definisi terkait infrastruktur. Grigg (1998) mendefinisikan Infrastruktur sebagai sistem sarana dan fasilitas fisik yang diperlukan untuk memenuhi berbagai keperluan dasar manusia, baik kebutuhan ekonomi maupun sosial. Sedangkan American Publik Works Association mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas fisik yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh publik yang berfungsi dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah, hingga transportasi yang menunjang sosial dan ekonomi.

Namun kedua definisi tersebut, hanya menjangkau infrastruktur yang bersifat fisik. Wikipedia memberikan literasi dari sudut pandang lain terkait infrastruktur yaitu “infrastruktur dapat merujuk pada 'teknologi informasi, saluran komunikasi formal dan informal serta alat-alat pengembangan perangkat lunak, jaringan sosial politik atau kepercayaan pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu. 

Sedangkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan belum banyak literasi yang mengatur definisi infrastruktur. Perpres No. 38 Tahun 2015 tentang KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur menyebutkan bahwa Infrastruktur adalah fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras, dan lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik. (Pasal 1 ayat 4). 

Dari berbagai definisi tersebut, tentu menjadi sangat penting untuk mengatur apa yang dimaksud dengan infrastruktur pelayanan publik, sehingga baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat secara umum memiliki pemahaman yang sama.

Dalam konseptual keuangan negara dan keuangan daerah, infrastruktur juga memiliki keunikan tersendiri. Belanja infrastruktur bukan merupakan bagian dari fungsi atau jenis belanja. Belanja infrastruktur dapat dianggarkan pada beberapa fungsi dan jenis belanja. Belanja infrastruktur pada APBD dapat berada pada fungsi pendidikan, fungsi kesehatan, perumahan dan fasilitas umum, bahkan pada fungsi pariwisata dan fungsi lainnya. Begitu pun dengan jenis belanja, infrastruktur tidak hanya terdapat pada belanja modal, tapi juga dapat dianggarkan pada jenis belanja operasi seperti belanja barang dan jasa, belanja hibah, dan lain-lain.

Untuk itu, perlu pengaturan yang jelas terkait belanja pada APBD yang dapat diklasifikasikan sebagai belanja infrastruktur. Pengaturan terkait kelompok belanja infrastruktur pada APBD tidak hanya digunakan oleh pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi pemenuhan belanja wajib, akan tetapi pengaturan tersebut justru akan lebih dibutuhkan pemerintah daerah sebagai guidance dalam melaksanakan perencanaan penyusunan APBD. Dengan pengaturan kelompok belanja infrastruktur pada APBD, pemerintah daerah dapat menyusun anggaran infrasturktur lebih pasti dan terarah. Saat ini telah diterbitkan KMK Nomor 11 Tahun 2024 yang mengatur tentang subkegiatan pada APBD yang termasuk ke dalam belanja infrastruktur. Namun demikian, dalam pandangan penulis, pada KMK tersebut masih diperlukan penjelasan secara umum, apa yang dimaksud dengan belanja infrastruktur pelayanan publik, apa saja kategorinya, apakah hanya terkait infrastruktur fisik atau juga termasuk infrastruktur nonfisik, apakah hanya kegiatan pembangunan infrastruktur saja atau juga termasuk kegiatan-kegiatan yang memberikan value added terhadap penyediaan infrastruktur tersebut.

Selain itu, subkegiatan APBD juga terus berkembang, bisa bertambah dan juga bisa berkurang, yang artinya untuk penandaan ini juga perlu di update secara berkala dan segera diinformasikan kepada Pemerintah Daerah selaku pelaksana kebijakan. Penulis juga berharap bahwa pemerintah pusat juga menyertakan alat tagging untuk mempermudah identifikasi dan inventarisasi jenis suboutput yang termasuk sebagai belanja infrastruktur pelayanan publik pada APBD. Dengan demikian, pemerintah daerah dapat melaksanakan perencanaan dengan optimal.

Masa Transisi Pemenuhan Belanja Infrastruktur

Melakukan perubahan pola belanja bagi daerah tentu menjadi tantangan tersendiri, sehingga tidak mudah bagi sebagian besar daerah untuk dapat langsung memenuhi ketentuan belanja wajib infrastruktur pelayanan publik paling rendah 40% pada APBD. Untuk itu, dalam UU No 1/2022 diatur masa transisi paling lama 5 tahun apabila pemenuhan belanja wajib belum mencapai 40% (Pasal 147 ayat (3)). Masa transisi ini diatur dengan tujuan agar daerah dapat menyesuaikan anggaran infrastruktur secara bertahap, sehingga masih dapat sejalan dengan RPJMD dan RKPD yang telah disusun sebelumnya. Namun demikian, masa transisi ini juga bisa dianggap sebagai masa “libur” oleh sebagian daerah dalam pemenuhan belanja wajib, karena pada masa transisi, daerah tidak dikenakan sanksi apabila belum memenuhi ketentuan.

Untuk itu, pada masa transisi ini harus dilakukan pembinaan, sosialisasi, bahkan pendampingan secara intensif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, agar masa transisi digunakan sebagai masa latihan bagi daerah untuk dapat memenuhi belanja wajib dan memperbaiki kualitas belanja daerah secara bertahap, sehingga pasca masa transisi, daerah benar-benar siap dalam melaksanakan pola belanja daerah yang lebih berkualitas.  

Kebutuhan Infrastruktur di daerah

Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap daerah memiliki karakteristik yang beragam, yang artinya kebutuhannya pun dapat berbeda-beda, sehingga perlu dilakukan kuantifikasi kebutuhan infrastruktur pada masing-masing daerah. Belanja wajib infrastruktur paling rendah 40% dapat menjadi tidak optimal bagi daerah-daerah yang sudah memiliki kualitas infrastruktur yang baik, akhirnya justru bisa menyebabkan inefisiensi pengalokasian anggaran. Untuk itu dalam UU No.1 Tahun 2022 juga diatur bahwa besaran persentase belanja wajib infrastruktur dapat disesuaikan dengan mempertimbangkan antara lain arah pembangunan infrastruktur nasional yang tercantum dalam RPJMN (Pasal 147 ayat (4)).

Komitmen Pelaksanaan Anggaran Belanja Wajib Infrasturktur  

Belanja wajib infrastruktur pelayanan publik hanya diatur pada anggaran belanja daerah. Agar dampak pengaturan belanja wajib tersebut dapat sesuai dengan tujuannya, diperlukan komitmen yang tinggi dari pemerintah daerah dalam pelaksanaannya serta pengawasan bersama oleh stakeholder terkait sesuai kewenangannya dan masyarakat secara umum. Perencanaan yang baik belum tentu dapat dilaksanakan dengan benar. Namun, perencanaan yang tidak baik, sudah pasti tidak dapat dilaksanakan dengan benar. Dengan demikian, pengaturan alokasi belanja wajib, merupakan satu langkah positif yang pelaksanaannya perlu dijaga dan dikawal bersama. Dengan sinergi dan kolaborasi bersama, infrastruktur aman tidak akan hanya jadi angan.


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun