Mohon tunggu...
Nugroho Endepe
Nugroho Endepe Mohon Tunggu... Konsultan - Edukasi literasi tanpa henti. Semoga Allah meridhoi. Bacalah. Tulislah.

Katakanlah “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (67:30) Tulisan boleh dikutip dengan sitasi (mencantumkan sumbernya). 1) Psikologi 2) Hukum 3) Manajemen 4) Sosial Humaniora 5) Liputan Bebas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Susah Payah Meraih Gelar Doktor, untuk Apa?

22 Oktober 2020   17:10 Diperbarui: 19 Desember 2020   17:51 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berguru pada petani yang SMP pun tidak tamat (Dokpri/NDP)

Jenjang pendidikan formal paling tinggi saat ini adalah S3, atau doktoral. Gelarnya bisa doktor jika dari dalam negeri, bisa pula PhD (philosophy  of doctor) jika lulusan luar negeri. Gelar doktor lain masih banyak, tergantung universitas dan jurusan yang diikuti. 

Sebagian orang memang sudah sesuai rekam jejak akademik. Lulus sarjana S1, paska sarjana S2, lantas doktoral S3. Nilai akademik bagus, tinggi, bisa cum laude, summa cumlaude, atau bahkan magna cumlaude. Singkat kata, pancen bawaannya orang pinter secara akademik. Jalur dosen, peneliti, akademisi, dan sejenisnya. 

Namun ada juga yang susah payah berusaha meraih gelar S3 dengan bersekolah doktoral. Sebagai contoh kongkret ya saya sendiri. Masuk pada tahun lama,  baru dikukuhkan sebagai doktor pada 29 Juni 2018. Berarti masa studi melebihi standar tahun? Oh tidak, saya cuti sehingga masa studi efektif pas sesuai batasan toleransi  tahun. Masa studi normal berdasarkan pedoman studi adalah paling cepat 3 tahun, yang normal cerdas ya 4 tahunan.  Bisa lulus 5 tahun sudah bagus. Selain saya ada gak yang masa studinya lama tahun? Ada lah... tapi gak mau ngaku. Hehehe.... Masa 7 tahun adalah batasan maksimal studi S3. Namun jika panjenengan masa studi 6 tahun, cutinya 2 semester (sebagai misalnya nih...), maka total penyeleseian ya 7 tahun meski formalnya 6 tahun. 

Tidak heran, ada juga teman saya yang sekolahnya disalib (didahului) oleh anaknya. Sebab, ketika start S3, anaknya sedang start juga namu di S1. Selang 4,5 tahun berikutnya sang anak sudah selesei S1, dan lanjut S2, eh... ortunya masih juga proses penyeleseian S3. 

Apalagi jika anaknya S2 start bareng S3 dengan ortunya. Selang 6 tahun berikutnya, anak dan ortu ini bareng wisuda S3. Kok bisaa...

Hehehe... iya soalnya sang anak yang lebih akademik itu, S2 nya 1,5 tahun, S3 nya 4 tahun.. ortunya S3 nya 6 tahun. Nah.. bareng kan... 

*****

Kalau ada yang bertanya sekolahnya kok suwiii...? Lamaa?

Maka jawaban kami kompak, "Wes, kamu ambil S3 saja, dan rasakan sendiri dah... ".

Memang sebagian dari kami pontang panting ikut studi S3 ini. 

Pontang-panting mengikuti program perkuliahan, karena sejatinya saya adalah praktisi di badan usaha milik negara (bumn). 

(1) memang sulit 

Studi s3 memang tidak mudah. Bahkan seorang profesor yang sangat baik, mengatakan, "Jika anda belum pernah sakit kepala menahan kantuk, berarti belum belajar di S3." 

Tugas jurnal, makalah, penterjemahan, proposal yang berjenjang dari pengajuan judul, pra kualifikasi, kualifikasi, proposal, presentasi alat ukur, mencari data, presentasi hasil, sampai tahap akhir ujian tertutup dan ujian terbuka. Sepertinya urut dan mudah. DI balik itu, revisi berbolak balik revisi, akan membuat mahasiswa menjadi merasa bodoh. Bisa jadi memang bodoh beneran hehehe...., 

Saya punya sahabat yang sangat pahit menjalani studi ini. Mengundurkan diri dari perguruan tinggi lain karena masa studi melampaui standar, lantas mengikuti perkuliahan doktoral lagi di tempat lain. Sampai detik akhir masa studi deadline, hampir habis, ternyata tugas-tugas tidak terseleseikan. Gugur lagi beliaunya. Dua kali menjalani program studi doktor, dan gagal meraih gelar tersebut. Lebih dari 10 tahun menjadi sia-sia, kelihatannya sih begitu.

"Sebaiknya saya bagaimana pak nug, "tanya beliau ke saya konsultasi nasib keknya.

"Bapak/Ibu/Saudara (biar nyamar ya....), kalau saya jadi anda, ikut lagi sampai dapat gelar tersebut. Hidup hanya sekali, mosok mau dapet doktor saja gak bisa, ada yang lebih bodoh dari kita nyatanya bisa doktor, "ujar saya menasehati, sambil ndredheg karena saya juga di injury time untuk segera lulus. 

"Tapi saya capekkk..capek lahir batin... capek biayanya juga..., "kata beliaunya ini.

"Ya sudah.. jika demikian, ya sudah... hidup dilanjutkan... tidak ada yang mewajibkan menjadi doktor, dan milyaran manusia lain di muka bumi ini tidak bergelar doktor ya sukses lahir batin, "ujar saya sok menasehati.

Singkat cerita, good bye program doktor, oleh beliau itu.  Entah bagaimana perasaan beliau, bahkan saya tidak berani membayangkan. 

Sedangkan saya, alhamdulillah bisa pengukuhan di 27 Juni 2020, wisuda di September 2020. 

Sertifikat dari UNCTAD ini mendukung karir, namun bukan untuk mendukung S3 (Dokpri/NDP)
Sertifikat dari UNCTAD ini mendukung karir, namun bukan untuk mendukung S3 (Dokpri/NDP)

(2) tertantang untuk formal s3

Sebagian orang mungkin memang jalur sekolah sekolah dan sekolah. Namun saya sendiri tidak diwajibkan oleh kantor untuk S3. Hanya seperti sebuah naluri primitif, bahwa gunung studi yang harus didaki adalah s1, s2, s3. Juga, saya pernah membantu beberapa orang dalam pembuatan makalah ketika beliau beliau sekolah di S3. Sehingga, saya berpikir, mengapa tidak sekalian juga saya sekolah S3 ? 

Jadi, meniru niru nih ? Tanya anda mungkin ya..

Betul, inspirasi kadang karena meniru. 

Dan akibatnya saya merasakan dengan sangat dahsyat. Sekolah S3 di satu tempat, sampai berjalan banyak tahun namun sempat cuti akademik pengajuan 2 semester, pengalaman tersiksa saya rasakan. Siksaan yang kurindukan hehehe... Harus bersyukur kan, tersiksa namun akhirnya lulus juga. 

Siksaan itu, misalnya; start sekolah s3 saya menjabat X, di tahun tertentu menjadi X2, di tahun berikutnya saya promosi menjadi X3, hingga akhirnya ditarik ke kantor pusat lagi menjadi X4, akhirnya ditugaskan sebagai pimpinan sekolah tinggi menjadi X5. Selama studi, saya menjalani promosi berpindah di 5 tempat, termasuk ke Banjarmasin tidak kurang dari 1,5 tahun. 

Sebenarnya bukan siksaan, sekarang menjadi kenikmatan. Wes rampung sudah sekolah, tinggal menekuni pekerjaan kembali. 

(3) mengemban amanah 

Sekarang tinggal meneruskan amanah. Dampak dari sekolah, karir saya seakan berbelok dari senior vice presiden di bidang human capital, direktur operasional pada anak perusahaan, menjadi pimpinan di sekolah tinggi. Apakah ini baik? Alhamdulillah, baik baik saja. Apakah ini berarti semangkin sejahtera? Wah, ini bisa diskas banyak tentang remunerasi. Namun secara spiritual, semua sudah ditetapkan oleh Hyang Maha Tinggi. 

Justru saya sering tersedak. Melihat kenyataan lain. Bahwa ternyata tingkat kesejahteraan para dosen masih perlu untuk diperjuangkan. Demikian halnya untuk pengembangan akademik, dan non akademik. Masih banyak pekerjaan rumah di dunia kampus pendidikan tinggi. 

Alhamdulillah, sah (Dokpri/NDP)
Alhamdulillah, sah (Dokpri/NDP)

Pekerjaan amanah semakin panjang. Kita harus terus menjalani sebagai sebuah tanggung jawab. Gusti Allah banyak  memberikan kenikmatan, dan saatnya kita terus melakukan sesuatu untuk dunia pendidikan.

Never give up, melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Semoga barokah. STIAMAK Barunawati tempat saya mengabdi edukasi bagi negeri. 

Keknya lebih enak begini ya  gak harus  banyak membaca jurnal riset . Ketika sebagai SVP Human Capital (Dokpri/NDP)
Keknya lebih enak begini ya  gak harus  banyak membaca jurnal riset . Ketika sebagai SVP Human Capital (Dokpri/NDP)

Jadi susah payah sekolah S3 untuk apa ? 

Ya untuk menjalani tahapan kita sebagai insan yang penuh amanah yang harus diseleseikan.  Semangat terus bapak/ibu/saudara yang masih sekolah doktoral. (22.10.2020/NDP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun