Mohon tunggu...
Dr. Nugroho SBM  MSi
Dr. Nugroho SBM MSi Mohon Tunggu... Dosen - Saya suka menulis apa saja

Saya Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang

Selanjutnya

Tutup

Financial

Menutup Defisit APBN dengan Mencetak Uang: Mengapa Tidak?

19 April 2021   11:08 Diperbarui: 19 April 2021   11:16 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: bombastis.com

Penanganan Pandemi Covid19 telah menyebabkan defisit APBN terus membesar. . Defisit APBN yang pada tahun 2019 hanya mencapai Rp 348,7 triliun atau setara dengan 2,20 persen Produk Domestik Bruto (PDB), pada tahun 2020 melambung menjadi Rp1.039,2 triliun atau sama dengan 6,34 persen dari PDB.

Demikian juga di tahun 2021. Walaupun tidak setinggi defisit pada tahun 2020, pada tahun 2021 defisit APBN masih sangat tinggi yaitu mencapai 5,70 persen terhadap PDB atau mencapai angka Rp 1.006,4 triliun.

Defisit yang besar dan longgar tersebut memang diperbolehkan oleh Undang-Undang. Berdasarkan Undang-Undang yang lama yaitu UU NO 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memang ditetapkan batas maksimum defisit APBN 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun UU tersebut telah diganti menjadi Perpu Nomer 1 Tahun 2020 yang kemudian ditetapkan menjadi UU Nomer 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuanagan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid19. Dalam UU yang baru tersebut defisit APBN diperbolehkan melebihi 3 persen dari PDB sampai tahun 2022. Setelah itu yaitu mulai tahun 2023 maka batasan defisit APBN akan kembali pada maksimum 3 persen dari PDB.

Yang menjadi masalah besar adalah bagai6mana cara untuk menutup defisit APBN yang kian membesar tersebut. Ada cara-cara konvensional yang memang bisa dan sudah ditempuh pemerintah. Pertama, menggenjot penerimaan dari pajak dan laba BUMN. Namun situasi ekonomi yanng masih sulit akibat pandemi covid19 tampaknya masih membuat dunia usaha belum begitu berjalan kembali sehingga menaikkan pendapatan dari pajak dan mengandalkan penerimaan dari laba BUMN masih sulit. Data menunjukkan rasio pajak terhadap PDB di tahun 2020 sebesar 7,90 persen. Padahal di tahun 2019 lalu angkanya 9,76 persen. Demikian pula laba BUMN juga menurun. Penurunan laba BUMN diperkirakan sebesar 15 persen di tahun 2020 dan di tahun 2021 penurunannya lebih tajam lagi yaitu 45 persen.

Alternatif kedua untuk menutup defisit APBN tersebut adalah dengan menambah utang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Posisi utang luar negeri Indonesia sampai akhir kuartal IV 2020 tercatat sebesar 417,5 miliar dollar AS, atau sekitar Rp 5.803,2 triliun (kurs Rp 13.900 per dollar AS). Tapi utang luar negeri tersebut masih dalam batas aman. Rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB di level 38,5 persen. Sementara batas aman rasio tersebut adalah sampai maksimum 60 persen. Rasio tersebut juga masih relatif lebih kecil dibanding negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia 66 persen, Singapura 131 persen, Filipina 54,8 persen dan Thailand 50 persen. Namun menggantungkan terus penutup defisit APBN dari utang luar negeri tidaklah baik karena resiko depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan adanya perilaku "gali lubang tutup lubang" artinya menambah utang luar negeri baru untuk menutup yang lama.

Bagaimana dengan utang domestik? Sampai saat ini memang porsi utang domestik dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam denominasi rupiah memang merupakan porsi terbesar yaitu 66,4 persen dari seluruh total utang pemerintah. Jadi sebenarnya relatif aman. Akan tetapi tetap ada resiko yang menghadang yaitu kenaikan bunga di pasar uang. Sampai saat ini saja suku bunga surat utang negara Indonesia sudah sangat tinggi. Sehingga pada akhirnya justru akan memberatkan beban APBN untuk pembayaran bunganya.

Mencetak Uang?

 Ada alternatif lain untuk menutup defisit APBN yang kian membesar tersebut yaitu dengan mencetak uang baru. Namun ide ini tampaknya sangat sulit diterima semua kalangan baik akademisi, dunia usaha, masyarakat, bahkan mungkin lembaga-lembaga negara pemegang otoritas di bidang keuangan.

 Alasan penolakan itu bisa dipahami. Pertama, pengalaman sejarah Indonesia sendiri di mana pada tahun 1965 menjelang berakhirnya Orde Lama inflasi Indonesia sempat mencapai angka 600 persen. Sebab utamanya adalah karena Bank Sentral Indonesia waktu itu (Bank Negara Indonesia Unit 1) mencetak uang dalam jumlah yang besar. Kedua, dengan mencetak uang untuk menambal defisit APBN maka independensi BI menjadi terkurangi. BI dikesankan menuruti perintah pemerintah.

 Terhadap dua alasan ini sebenarnya bisa dibantah. Pertama, pada jaman Orde Lama pencetakan uang baru yang sangat besar digunakan untuk membangun projek-projek mercu suar yang tidak produktif tetapi hanya demi gengsi. Kedua, soal independensi BI yang terganggu sebenanya sekarangpun dengan kebijakan berbagi beban (burden sharing) dalam penanganan Covid19 yaitu antara lain dengan membeli Surat Utang Negara (SUN) di pasar perdana, independensi itu sudah berkurang.

 Lalu apakah menambal defisit bisa dilakukan dengan mencetak uang baru? Sangat mungkin asalkan dilakukan dengan hati-hati. Jaman dulu ketika masih berlaku standar emas penuh maka setiap pencetakan uang baru harus didukung oleh cadangan emas dengan nilai yang sama sehingga tidak terjadi inflasi. Swiss adalah negara yang secara ketat memberlakukan kebijakan tersebut. Demikian pula AS dan China yang menimbun emas secara besar-besaran untuk memback up pencetakan uang baru mereka. Sehingga tidak terjadi inflasi. Di samping itu, permintaan terhadap Swiss franc, Dolar AS, dan Yuan China sangat tinggi di pasar sehingga tidak terjadi inflasi meski ketiga mata uang itu dicetak dalam jumlah besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun