Mohon tunggu...
Nugroho Angkasa
Nugroho Angkasa Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pemilik Toko Online di Dapur Sehat dan Alami, Guide Freelance di Towilfiets dan Urban Organic Farmer. Gemar Baca dan Rangkai Kata untuk Hidup yang lebih Bermakna. Blog: http://local-wisdom.blogspot.com/.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menguak Eksotisme Tanah Sunda

3 April 2013   09:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:49 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13649618041427678696

The Wisdom of Sundaland menguak eksotisme tanah Sunda. Salah satu referensinya ialah karya klasik Adiguru Dattatreya. Beliau menulis kitab Tripura Rahasya sekitar 12.000 tahun silam. Lantas, Swami Sri Ramananda Saraswathi menyadurnya kembali ke Tripura Rahasya; The Mistery Beyond the Trinity (halaman 28).

Menurut penulis, waktu itu relatif. Ketika manusia bahagia, jarum jam berputar begitu cepat. Sebaliknya, saat penderitaan menghampiri, waktu terasa begitu lambat. Bersyukur dan mengingat-Nya dalam suka maupun duka jadi cara ampuh lampaui dualitas. Lantas, kenapa manusia tetap menderita? Sebab, ia melupakan hukum perubahan (Law of Change).

Buku ini juga memuat statistik mengejutkan, 80% gempa dahsyat di dunia terjadi di seputaran The Pacific Ring of Fire. Dari Jawa, Sumatera, hingga pegunungan Himalaya dan laut Mediterania. Itulah sebabnya, nama raja-raja Jawa identik dengan perlindungan alam, misalnya Hamengku Buwana, Paku Buwana, Paku Alam, dll. Seorang pemimpin yang adil niscaya menurunkan berkah dari Bunda Alam Semesta. Sebaliknya, arogansi kekuasaan justru menjadi tumor berbahaya di tubuh NKRI.

Alkisah, leluhur tanah Sunda begitu kaya-raya, makmur-sejahtera, dan bijak-bestari, toh mereka tetap rendah hati. Ibarat belajar dari ilmu padi, semakin berisi kian menunduk. Bahkan, ada pepatah populer dari peradaban Sindhu, “Jo jaaye Jaava so mur na vaapas aaya, jo aaya to par-potta daaya.” Siapapun yang pergi ke Jawa tak akan pernah kembali, tapi kalau ia kembali niscaya membawa kekayaan cukup untuk tujuh turunan. Kata “Jawa” di sini mengacu pada seluruh kepulauan Nusantara kala itu (halaman 71).

Buku ini terdiri ada 17 bab, di antaranya Aksara, Kala, Gamelan, dan Sundara Kanda. Drs. Soedarmono, Dosen Sejarah Universitas Sebelas Maret Solo turut membubuhkan sekapur sirih. Ketua Komunitas Warisan Budaya Surakarta tersebut berpendapat, “Karya tulis ini campuran antara fakta, legenda, dan penelitian ilmiah. Ia mengajak pembaca kembali ke masa ribuan tahun silam, ketika kepulauan Nusantara menjadi semacam Atlantis sebagai pusat peradaban dunia.” (halaman vii).

Lantas, terkait suara kempul gamelan, pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006) tersebut mendedah inner significant (makna intrinsik) dari suara Neng, Ning, Neng, dan Nang. Misalnya Ning, merupakan akronim dari Wening/hening (Be Silent!). Manusia butuh saat teduh untuk berefleksi. Ironisnya, karena terlalu sibuk dengan aktivitas di luar diri, jati dirinya sendiri acap kali terabaikan. Ibarat memutar kaset/CD, ada saat untuk menekan tombol pause.

Selanjutnya, Nung merupakan kependekan dari kata Kesinungan. Sinonim dengan ketepatan dalam melakukan eksekusi. Senada dengan petuah Romo Driyarkara SJ, “Manusia harus bisa duga dan prayoga alias memiliki kemampuan menebak secara tepat.” Dalam konteks ini, butuh kreativitas dan keluasan cakrawala berpikir. Fanatisme dan sikap merasa paling benar sendiri (rumangsa isa) sangat merugikan. Untuk meraih Nang (Kemenangan), keceriaan, kemauan, kerelaan berkorban jadi kuncinya.

Pada tataran kebangsaan, buku ini juga menyitir pidato legendaris Bung Karno yang masih sangat relevan, “Kita butuh imajinasi. Kita butuh konsep, energi, dan keberanian untuk membangun bangsa ini. Sebuah bangsa wahai saudara-saudariku terkasih, menjadi besar karena imajinasi, fantasi, dinamisme, dan nyali baja untuk berkorban apa saja. Leluhur kita adalah orang-orang besar. Kompleks Candi Borobudur dan Prambanan menjadi saksi kejayaan masa silam. Tapi bagaimana dengan kondisi kita kini? Kita menjadi bangsa yang kurang imajinatif. Kita butuh dinamisme!” (halaman 155).

Buku setebal 200 halaman ini ibarat perkakas alat selam. Dengan menyelami paparan di dalamnya - menyitir pendapat Sylvia Sucipto -  kita dapat memahami psikis manusia Indonesia modern. Selamat membaca!

13649618041427678696
13649618041427678696

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun