Mohon tunggu...
Nugroho Angkasa
Nugroho Angkasa Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pemilik Toko Online di Dapur Sehat dan Alami, Guide Freelance di Towilfiets dan Urban Organic Farmer. Gemar Baca dan Rangkai Kata untuk Hidup yang lebih Bermakna. Blog: http://local-wisdom.blogspot.com/.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Skandal Busuk Seorang Aparat Menodai Wajah Hukum (Lanjutan)

22 Oktober 2011   08:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:38 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut penasihat hukum perlu di-sampaikan dalam persidangan ini sehingga ada dasar hukum nantinya dalam nota pembelaan. Permasalahan ini merupakan masalah yang serius, bagaimana JPU dapat menghadirkan bukti yang tidak ada kemudian majelis hakim menyatakan akan mempertimbangkan permasalahan ini.

Di dalam penetapan yang dikeluarkan oleh Hari Sasangka, disebutkan bahwa telah diperiksa keterangan 9 orang saksi, yaitu Tara Pradipta Laksmi, Dra Wijarningsih, Farah Diba Agustin, Maya Safira Muchtar, Dr. E. Kristi Poerwandari, M. Hum (psikolog), dan ahli Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, SH, MH.

Bahkan menurut penasihat hukum, hal itu tidak benar karena saksi yang telah diperiksa sudah 25 orang dan bukan 9 orang. saksi-saksi tersebut antara lain; Phung Soe Swe alias Chandra, Liny Tjeris, Muhammad Djumaat Abrory Djabbar, Wandy Nikodemus, Lion Filman, Dewi Juniarti, Demetrius Baruno, Dian Martin, Made Yuda, Rico Perlambang, Wowiek Prasantyo, Dewi Yogo Pratomo, Ratih Puspita, Norma Harsono, Deby Sutopo, dan Ires Hasibuan. Dengan demikian hakim telah tidak jujur karena telah menyembunyikan fakta yang sebenarnya, sehingga melanggar kode etik hakim pasal 2.1 yang berbunyi sebagai berikut ,”hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela”.

Hal itu melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana tersebut dalam keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 047/KMA/SKB/IV/2009 selanjutnya disebut “kode etik”.

Pasal  1.1 umum bagian C pengaturan keputusan kode etik menyatakan, “hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharap imbalan”. Dalam persidangan hakim juga sering memihak kepada Pelapor dan Jaksa antara lain hakim mengijinkan Jaksa untuk mengajukan bukti-bukti yang tidak termasuk dalam berkas perkara untuk ditanyakan kepada saksi-saksi. “Padahal kami sudah berkali-kali keberatan, karena menurut kami kalau bukti yang diajukan Jaksa tidak ada dalam berkas tidak boleh diajukan sebagai bukti untuk ditanyakan kepada saksi-saksi karena kita tidak tahu keaslian, asal usul dari bukti tersebut. Namun meskipun kami sudah keberatan, hakim tidak memperdulikan keberatan kami tersebut,” ungkap kuasa hukum Anand Krishna, Humphrey R. Djemat kepada TIRO.

Humphrey mencontohkan, pada persidangan tanggal 16 Februari 2011 saat pemeriksaan saksi Ir. Made Yudanegara, Rico Perlambang, dan Dian Martin jaksa menyerahkan dua buah foto ke pada hakim ketua untuk diperlihatkan kepada saksi dan oleh hakim ketua terima serta ditanyakan kepada saksi, padahal foto tersebut tidak termasuk dalam salah satu barang bukti yang diajukan di persidangan, sehingga tidak diketahui foto tersebut berasal dari mana. Pada saat pemeriksaan saksi dalam persidangan ketua majelis hakim juga sering menggunakan kalimat “sampeyan” kepada saksi-saksi.

Tidak hanya itu, pada saat saksi ahli dimintakan kesaksiannya di persidangan dan telah dipanggil beberapa kali antara tanggal 9 Februari, 23 Februari, 2 Maret dan JPU beralasan tidak bisa menghadirkan saksi ahli, hakim ketua mengatakan bahwa saksi ahli harus disiapkan “peluru” dan transport, karena kalau tidak mana mau datang begitu saja menjadi saksi di pengadilan.

Anehnya, saksi-saksi yang memberatkan terdakwa padahal sudah selesai diperiksa, diizinkan secara terus-menerus masuk ke dalam ruang sidang, dan mengikuti jalannya persidangan yang tertutup untuk umum dengan alasan adanya surat dari suatu institusi tertentu yang ditujukan kepada majelis hakim, sehingga terkesan ketua majelis hakim telah ditekan oleh pihak tertentu dan menjadi tidak independen.

Sesungguhnya sikap ketua majelis hakim tersebut telah menciderai independensi pengadilan sebagai benteng terakhir penegakan hukum, mencari/menemukan kebenaran materil menjadi sirna, dan terutama telah bertentangan dengan pedoman perilaku hakim di dalam persidangan.

“Laporan yang dibuat adalah murni merupakan dugaan pelanggaran kode etik karena hakim telah melakukan perbuatan tercela. Hakim tersebut telah melakukan hubungan dengan saksi wanita yang mengaku sebagai korban dalam perkara yang sedang diperiksanya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas terdakwa Anand Krishna,” jelas Humphrey.

Humphrey melanjutkan, seorang hakim tidak diperbolehkan untuk menjalin hubungan dengan, baik langsung maupun tidak langsung dengan advokat, penuntut umum dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh hakim yang bersangkutan. Hal tersebut melanggar ketentuan Angka 5.1.3 keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial .R.U Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang menyatakan : “Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan advokat, penuntut umum dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh hakim yang bersangkutan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun