“Menjalin hubungan dengan pihak dalam perkara saja sudah tidak boleh, apalagi bertemu Shinta Kencana Kheng yang merupakan saksi korban, di mobil pada malam hari di beberapa tempat yang berbeda,” tegas Humphrey.
Hal lain yang menjadi dasar laporan adalah Hakim tersebut dalam memeriksa perkara dengan terdakwa Anand Krishna telah menunjukkan sikap keberpihakan. “Kami memiliki rekaman sidang yang nanti akan bicara banyak mengenai keberpihakan dari hakim tersebut,” ujar Humphrey.
Tindakan ini juga melanggar Angka 3.1 (2) keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial .R.U Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang menyatakan : “Hakim dalam hubungan pribadinya dengan anggota profesi hukum lain yang secara teratur di beracara di pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan.
Oleh sebab itu, TIRO pun sempat mewawancarai saksi ahli Prof. Eddy Hiariej dari Universitas Gajah Mada demi mencari keabsahan sebuah fakta persidangan. “Saya yakin bahwa dakwaan ini tidak cermat, apa yang dituduhkan itu sendiri baik secara materi maupun substansi dan dari segi hukumnya pun sangat lemah. Bagaimana seorang bisa mengaku dilecehkan berulang kali, dan kemudian datang sendiri seolah minta dilecehkan,” ujar Prof. Eddy Hiariej.
Prof. Eddy Hiariej menambahkan, bahwasanya saksi pelapor dalam keadaan tidak berdaya. “Nah, tidak berdaya ini secara fisik diikat, diancam atau bagaimana? Dari apa yang sekarang saya ketahui hal itu tidak terjadi”.
Bahkan saksi-saksi yang mengaku saksi korban itu tidak mengukuhkan tuduhan saksi pelapor, akan tetapi terasa bercurhat. Saya tidak habis pikir kenapa curhatan murahan seperti itu dijadikan dasar untuk mengangkat kasus ini ke sidang?
“Dalam hukum di manapun, satu saksi berarti tidak ada saksi. Saksi pelapor dalam kasus ini tidak bisa menghadirkan seorang saksi pun yang mengaku melihat kejadian yang dituduhkannya. Nama yang disebutnya malah bertambah,” tutur Prof. Eddy.
Tak hanya itu, terdakwa juga mau ditampilkan sebagai guru hanya untuk memenuhi syarat pasal 294, padahal untuk guru itu ada undang-undang yang jelas, apalagi terdakwa sendiri mengaku dalam tulisan-tulisannya bahwa dirinya tidak mau disebut guru.
“Saya melihat kasus ini penuh dengan keanehan-keanehan dan saya yakin hakim Albertina Ho pun dapat melihatnya bahwa ada sesuatu, kalau menurut saya sih konspirasi, untuk menjatuhkan terdakwa,” ujar Prof. Eddy mengakhiri.