Di tengah derasnya arus informasi saat ini, penyiaran menjadi salah satu pilar penting dalam pembentukan opini publik. Namun, di balik kebebasan berbicara yang dijamin oleh UUD 1945, ada etika dan hukum yang mengatur agar informasi yang disampaikan tetap bertanggung jawab. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi tonggak penting dalam mengarahkan penyiaran di Indonesia agar tetap dalam koridor moral, hukum, dan nilai budaya bangsa.
Kebebasan yang Tidak Mutlak
Kebebasan berekspresi adalah bagian dari hak asasi manusia. Dalam konteks penyiaran, kebebasan ini harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Setiap siaran wajib menjunjung tinggi keadilan, demokrasi, serta tidak merugikan pihak lain. Itulah sebabnya penyiaran tidak boleh lepas dari pengawasan.
Lahirnya Undang-Undang Penyiaran
UU No. 32 Tahun 2002 disusun sebagai respons atas perkembangan teknologi komunikasi dan kebutuhan akan penyiaran yang sehat. UU ini mengatur hal-hal penting seperti:
- Peran penyiaran sebagai lembaga ekonomi yang strategis
- Perkembangan teknologi digital
- Perlindungan terhadap anak dan remaja dalam isi siaran
- Pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga independen.
Isi Siaran Antara Edukasi dan Moral Bangsa
Pasal 36 UU Penyiaran menekankan bahwa isi siaran harus mengandung unsur informasi, pendidikan, hiburan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya. Tidak hanya itu, siaran juga wajib menjaga netralitas, tidak memihak, dan tidak boleh memuat unsur yang menyesatkan, cabul, atau mengandung kekerasan.
Iklan yang Etis dan Bertanggung Jawab
Iklan dalam penyiaran juga mendapat perhatian khusus. Pasal 46 UU ini menyebut bahwa iklan tidak boleh bertentangan dengan etika, nilai agama, atau merendahkan martabat pihak lain. Ada batasan ketat, termasuk pelarangan iklan minuman keras, eksploitasi anak, dan promosi yang menyerang ideologi tertentu.
Peran KPI dan Sensor dalam Penyiaran
Komisi Penyiaran Indonesia hadir sebagai lembaga pengawas yang mewakili kepentingan publik. KPI mengatur pedoman perilaku siaran agar setiap konten yang ditayangkan sesuai dengan norma kesopanan, perlindungan anak, dan netralitas informasi. Meski berbeda dari media cetak yang lebih bebas, penyiaran tetap memerlukan lembaga sensor, khususnya untuk film dan iklan. Ini diatur dalam Pasal 47 UU Penyiaran.
Sanksi Bagi Pelanggar
Penyelenggara penyiaran yang melanggar ketentuan bisa dikenai sanksi administratif hingga pidana. Pasal 57 dan 58 bahkan mengatur ancaman pidana hingga lima tahun penjara dan denda miliaran rupiah bagi pelanggaran berat, seperti siaran tanpa izin atau isi siaran yang meresahkan publik.
Era Digital dan Tantangan Baru
Seiring berkembangnya dunia digital, penyiaran juga menghadapi tantangan baru. Internet dan media sosial membuka ruang kebebasan yang luas, namun juga memunculkan ancaman seperti hoaks dan kejahatan siber. Oleh karena itu, Indonesia turut mengatur penyiaran digital melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta hukum siber yang terus berkembang.
Penyiaran bukan sekadar menyampaikan informasi. Ia adalah alat yang membentuk karakter bangsa. Dengan Undang-Undang yang mengatur dan etika yang menjadi landasan, harapannya penyiaran Indonesia terus berkembang secara sehat, adil, dan bertanggung jawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI