Lembaran baru yang tak benar-benar baru
Mengisi sebagian angan, cita dan mimpi
Bertemu dengan gemericik rindu baru
Namun, luka masih saja menepi
Lembaran biru berwarna biru
Konon, sang birulah yang memberi harapan
Menebar rindu, walau tak bertemu
Konon, sang birulah yang menciptakan kenangan
Merenovasi bangunan yang sudah lama semu
Iya, itulah lembaran biruku
Lembaran biru, namun bukan pilu
Sengaja aku tulis bahagia
Karena kalbu terlalu usang untuk sekedar menyapamu
Tak berani katanya. Â Memang iya nyatanya.
Lembaran biruku
Ku sudah lelah dengan canda tawa biasa
Kini ku ingin yang sempurna
Namun tak pernah coba melambungkan asa
Lembaran dan Menulis? Iya, begitulah rangkaiannya.
Karena berkata menjadikanku terbujur kaku
Karena berucap menjadikanku terlalu malu
Karena berbicara menjadikanku jauh dari lugu
Tak jarang, lambungan kata sok pun ada
Luka? Sedikit.
Kalau aku tak luka dengan lidah manusia,
Maka aku layaknya mayat yang merana.
Hidup, namun tak merasa.
Tak jarang, lembaran biruku ku lihat ulang
Mungkin saja ada yang terlewatkan
Nyatanya, hati manusia mengeras bak tulang.
Mengering bak daun.
Menabung segala rasa bak bank Negara
Tak jarang pula, manusia mengasihani.
Aku tak benci mereka.
Karena objekku mulai bertambah alami.
Akupun tak sayang mereka.
Karena tulisanku terlalu rumit untuk menjadi api
Akupun tak mengharapkan mereka
Karena penaku terlalu mahal untuk ku luangkan.
Memperbaharui keadaan tak selalu jadi pilihan
Bahkan itu bisa saja bentuk pelarian
Sudahlah.. cukup..
Objekmu terlalu polos untuk menjadi bahan