Filsafat klasik mengajarkan logos --- akal sehat sebagai jalan menuju kebijaksanaan. Tapi di zaman ini, kita lebih memilih viralitas daripada kebenaran. Kita lebih ingin dikasihani ketimbang diberdayakan.
Begitulah ironi manusia modern: semakin berteknologi, semakin banyak meminta empati instan.
III. Dari Agora ke Instagram
Di masa Yunani, orang berkumpul di agora --- pasar ide. Di sanalah manusia berdialog, berpikir, bertukar argumentasi. Tapi kini, kita punya versi digitalnya: Instagram, TikTok, X.
Sayangnya, pasar ide telah berubah menjadi pasar simpati.
Lihat saja: pengemis digital berseragam rapi memohon di kolom komentar, "tolong bantu naikkan postingan ini," atau "mohon dukungan agar dapat donasi."
Ada pula yang membuat konten kesedihan demi memancing belas kasihan. Air mata dijual, luka dijadikan modal.
Mereka tidak berbeda jauh dengan pengemis yang mengetuk kaca mobil, hanya saja kini mengetuk hati lewat algoritma.
Andai Aristoteles hidup hari ini, ia mungkin akan menulis Ethica TikTokica, buku tentang kehilangan virtue di dunia maya. Ia akan menegaskan bahwa martabat manusia bukan diukur dari seberapa banyak ia menerima, tapi seberapa tulus ia memberi makna bagi sesama.
IV. Keberanian untuk Tidak Meminta
Mental pengemis adalah penyakit yang muncul ketika manusia berhenti berani. Ia takut gagal, takut miskin, takut tidak diperhatikan.
Padahal, dalam filsafat Stoa --- aliran yang diajarkan oleh Epictetus dan Marcus Aurelius --- manusia mulia bukan yang tidak pernah kekurangan, melainkan yang mampu berdiri teguh di tengah kekurangan.
Epictetus sendiri adalah budak. Tapi dari hidup yang terikat rantai, ia menemukan kebebasan batin. Ia berkata, "Kebebasan sejati adalah ketika kita tidak bergantung pada apa pun di luar diri."
Lalu bandingkan dengan kita: seberapa sering kita mengeluh karena tidak mendapat bantuan? Seberapa sering kita menyalahkan keadaan? Seberapa sering kita menunggu kemurahan orang lain untuk memulai sesuatu?
Dalam bahasa Bali, kita mengenal istilah ngeluh tanpa ngalih jalan, mengeluh tanpa mencari solusi. Itulah inti dari mental pengemis: ingin perubahan, tapi tak mau berbuat.
Filsafat klasik mengajarkan kebalikannya: virtus in actio --- kebajikan terletak pada tindakan, bukan keluhan.
V. Dari Pengemis ke Pemberi
Ada kisah lama dari India kuno. Seorang raja berjalan di jalanan dan melihat pengemis meminta-minta. Raja itu mengulurkan tangannya, tapi justru pengemis itu memberi segenggam beras.
Raja tertegun: "Mengapa engkau memberi, bukan meminta?"
Pengemis itu menjawab, "Karena hari ini aku ingin tahu bagaimana rasanya menjadi kaya."