Di perempatan jalan yang sibuk, di bawah bayangan baliho bertuliskan "Bali Clean and Smart City", seorang pria dengan wajah letih mengulurkan tangan pada setiap motor yang berhenti. Ia tersenyum lirih, menunduk penuh harap. "Bapak, ibu... seikhlasnya."
Koin-koin logam berpindah tangan. Sebagian orang menoleh iba, sebagian lagi acuh. Namun, yang menarik bukanlah nasib si pengemis itu, melainkan cermin yang ia bawa: cermin mentalitas zaman.
Kita hidup di masa di mana mental pengemis tak selalu mengenakan baju lusuh dan duduk di trotoar. Kadang ia mengenakan jas, berdasi, bahkan punya jabatan. Ia hadir di ruang rapat, di media sosial, di kantor pemerintahan, di balik layar proposal bantuan, dan di banyak hati yang kehilangan kejujuran. Mental pengemis kini bertransformasi --- menjadi penyakit sosial yang disembunyikan dengan nama-nama yang lebih sopan: proyek, bantuan sosial, donasi publik, atau kerjasama strategis.
I. Mentalitas Meminta dan Filsafat Klasik
Mari kita mundur sejenak ke masa Yunani Kuno. Sokrates --- sang bijak yang hidup tanpa kekayaan, tapi kaya akan tanya --- pernah berkata, "Orang yang tidak puas dengan apa yang dimilikinya, meski dunia ditaruh di kakinya, tetaplah miskin."
Kalimat itu sederhana tapi menusuk jantung zaman kita hari ini. Sebab banyak di antara kita yang sebenarnya bukan miskin secara materi, melainkan miskin secara jiwa. Kita minta, bahkan sebelum berusaha. Kita berharap diberi, sebelum belajar memberi.
Plato, murid Sokrates, lebih jauh menggambarkan manusia semacam itu dalam alegori gua: manusia yang terpenjara dalam bayang-bayang. Ia takut keluar, sebab cahaya kebenaran menyilaukan. Begitu pula mental pengemis: ia hidup dalam gua ketergantungan, takut cahaya kemandirian. Ia berdoa setiap hari agar diberi, bukan agar mampu memberi. Ia ingin dibebaskan dari penderitaan, tapi enggan melangkah mencari kebajikan.
Dan Aristoteles, filsuf yang lebih praktis dari gurunya, menegaskan bahwa kebahagiaan sejati (eudaimonia) hanya lahir dari aktivitas yang selaras dengan kebajikan (virtue). Artinya, kebahagiaan bukan datang dari menerima belas kasihan, melainkan dari kemampuan mengarahkan diri untuk hidup bermoral dan berguna.
Lalu mari kita lihat: berapa banyak dari kita yang masih menunggu bantuan datang sebelum bergerak? Berapa banyak lembaga, desa, bahkan generasi yang menunggu "dana pusat" untuk berubah? Seolah tanpa itu, hidup tak bisa maju.
Inilah bentuk baru dari gua Plato. Gua modern. Dindingnya bukan batu, tapi layar gawai dan proposal permohonan bantuan.
II. Mental Pengemis di Era Digital
Zaman berubah, tapi pola pikir meminta tetap lestari. Di media sosial, mental pengemis tampil dengan gaya baru: pengemis validasi.
Kita mengulurkan tangan, bukan untuk uang, tapi untuk like, comment, dan share. Kita haus perhatian sebagaimana pengemis di pinggir jalan haus receh.
Setiap kali unggahan tak mendapat respon, hati kita gundah. Seolah nilai diri kita ditentukan oleh seberapa banyak orang memberi perhatian.
Socrates mungkin akan tersenyum getir melihat ini. Dulu, ia mengajak orang bertanya agar mengenal dirinya sendiri --- "know thyself". Sekarang, kita justru mengenal diri melalui cermin orang lain: algoritma.