Di pasar tradisional Sukawati yang padat oleh warna, di antara harum bunga kamboja dan dupa yang terbakar, Â Anda akan mendapati satu pemandangan yang terasa janggal: tumpukan apel merah dari Washington, jeruk mandarin dari Tiongkok, anggur dari Australia, pir dari Korea. Di tanah tropis yang subur, di mana matahari bersinar hampir sepanjang tahun, buah-buah dari negeri jauh justru berkuasa di atas meja-meja pedagang.
Pertanyaan yang sederhana pun menyeruak: mengapa buah impor masih merajai Bali?
1. Paradoks di Pulau Subur
Bali bukan pulau tandus. Dari pegunungan Kintamani yang sejuk, lahirlah jeruk manis yang harum dan renyah. Dari dataran Baturiti, mengalir strawberry yang manisnya memikat lidah. Dari desa-desa di Tabanan hingga Karangasem, pisang, pepaya, manggis, dan salak tumbuh dengan mudahnya.
Namun, ketika kita melangkah ke supermarket di Denpasar, bahkan ke toko buah di pinggir jalan, nama-nama asing lebih sering terpajang: *Fuji apple, Red Globe grape, Sunkist orange.* Buah-buah lokal tampak seperti tamu di rumahnya sendiri---diletakkan di sudut, tanpa cahaya yang cukup, tanpa papan nama yang megah.
Paradoks ini bukan sekadar soal dagang, melainkan soal cara kita memandang *nilai*.
 2. Imaji Kualitas dan "Citra Dingin" Barat
Dalam riset sosial ekonomi Universitas Udayana (2023), konsumen urban di Bali menilai buah impor memiliki tiga keunggulan utama: tampilan lebih menarik, rasa lebih konsisten, dan dianggap lebih "higienis." Kata "higienis" di sini menjadi kunci.
Buah impor datang dalam kemasan rapi, bersih, sering kali berstiker. Ada sesuatu yang membuatnya tampak lebih "terjamin"---meski tak selalu lebih segar. Ada semacam *fetisisme kebersihan dan prestise* yang menempel pada produk luar negeri. Seolah-olah setiap apel impor membawa aroma kemajuan dan kemakmuran.
Padahal, banyak di antara buah-buah itu telah melewati perjalanan ribuan kilometer, disemprot pengawet, disimpan di ruang pendingin selama berminggu-minggu. Tapi tetap saja, di mata sebagian besar pembeli, apel Washington lebih mulia dari apel malang, atau  Jeruk sunkis dibandingkan jeruk Kintamani.