Jakarta, 28 Agustus 2025. Siang bolong, ribuan buruh long march dari Gedung DPR ke TVRI. Terik matahari bukan masalah. Mereka sudah biasa terbakar mesin pabrik, jadi matahari cuma lampu panggung. Panggung teater bernama Senayan. Dan seperti biasa, lakon yang dipentaskan masih sama: rakyat berteriak, DPR tepuk tangan.
Mobil komando memutar lagu Internasionale. Sementara itu, di dalam Gedung DPR, beberapa anggota dewan mungkin sedang bersenandung dengan lagu lain: "Bang Jono" atau "Lathi," siapa tahu. Hidup memang penuh harmoni: di luar pagar, teriakan lapar. Di dalam pagar, perut kenyang.
Rp200.000 yang Terlalu Mahal
Presiden KSPI, Said Iqbal, berteriak lewat pengeras suara: "Naikkan upah Rp200.000 itu saja susah! Tapi DPR naikkan gaji sendiri langsung joget!"
Sungguh satire yang tak perlu ditambah bumbu. Dua ratus ribu rupiah---angka recehan di kafe elit Senayan---menjadi beban berat di pundak negara. Dua ratus ribu yang bisa habis untuk dua porsi martabak manis keju-kacang plus satu gelas kopi susu. Ternyata, harga martabak lebih cepat naik daripada gaji buruh.
Sementara DPR? Mereka bukan hanya joget. Mereka bisa naikkan gaji sambil berjoget. Tangan kanan mengetok palu, tangan kiri goyang pinggul. Aksi legislatif berubah jadi pesta ulang tahun anak TK.
Pulang, Tapi Bukan ke Rumah
Setelah orasi, Said mengumumkan: "Kami pulang ke daerah, tapi bukan ke rumah. Tetap lanjut aksi."
Buruh bukan pulang, tapi berpindah panggung. Dari DPR ke kawasan industri. Dari Senayan ke Bekasi. Dari pagar gedung wakil rakyat ke pagar pabrik.
Ironi kental di sini: orang lain pulang kerja untuk tidur, buruh pulang kerja untuk demo. Orang lain cuti demi liburan, buruh cuti demi tuntutan. Bedanya, liburan menghasilkan foto Instagram, demo menghasilkan mata bengkak gas air mata.
Mahasiswa: Romeo Musiman