Davies mencatat, dengan jernih, bahwa euforia CRISPR hanya bisa dipahami dalam konteks sejarah panjang bioteknologi---dari Watson dan Crick yang menemukan struktur DNA pada 1953, hingga Craig Venter yang memetakan genom manusia pada awal milenium. CRISPR adalah puncak gunung yang mulai dibangun sejak puluhan tahun lalu. Tapi dari puncak itu, kita juga bisa melihat jurang.
Lulu dan Nana, dua bayi yang lahir dari eksperimen yang tak etis, menjadi pengingat bahwa batas sains dan moral tidak selalu jelas. He Jiankui dipenjara. Dunia ilmiah mengecam. Tapi gen mereka telah berubah. Dan mungkin, anak-anak mereka kelak akan mewarisi perubahan itu.
CRISPR telah memasuki laboratorium-laboratorium universitas dan startup dengan semangat seperti revolusi digital dulu. Bedanya, kali ini bukan piksel dan bit yang diubah, tapi inti dari keberadaan biologis kita. Teknologi ini membuka pertanyaan yang tak mudah dijawab: Apa yang membuat kita manusia? Apakah manusia masih manusia jika dirinya bisa direkayasa?
Saya teringat sebuah kutipan dari Mary Shelley, dalam Frankenstein: "You are my creator, but I am your master; obey!" Mungkin suatu hari nanti, tubuh-tubuh hasil rekayasa akan mengatakan hal yang sama kepada penciptanya.
Davies menutup bukunya dengan satu nada ganda: harapan dan kekhawatiran. Di satu sisi, CRISPR bisa menyelamatkan jutaan manusia dari penderitaan penyakit yang selama ini tak tersembuhkan. Di sisi lain, ia bisa membuka jalan menuju rekayasa genetika sosial yang memperdalam ketimpangan.
Dan di antara dua kutub itu, kita berdiri---dengan kebingungan, dengan kagum, dengan rasa takut.
Di desa saya di Bali, orang-orang masih percaya bahwa kelahiran adalah anugerah dari alam dan para dewa. Seorang bayi yang lahir dengan kondisi tak sempurna, bukanlah kutukan, tapi pertanda. Bahwa tubuh adalah warisan, bukan proyek.
Tetapi dunia bergerak cepat. Ketika teknologi seperti CRISPR memasuki ruang praktik medis, ruang kebudayaan akan terguncang. Mungkin satu hari nanti, para dukun bayi pun harus belajar genetika.
Saya tak hendak romantis. Tapi saya juga tak bisa abai pada suara batin yang terus bertanya: Jika semua bisa diubah, apa yang tersisa dari keaslian?
CRISPR telah mengajari kita bahwa gen bukanlah garis nasib yang tak bisa diganggu. Tapi apakah manusia akan lebih bijak, lebih adil, lebih manusiawi, setelah bisa mengedit dirinya sendiri?
Itulah pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh Davies, atau siapa pun. Karena jawaban itu bukan soal sains, tapi soal keberanian untuk menahan diri ketika kita bisa melakukan segalanya.