Dalam satu bab, ia menulis tentang para pekerja yang terjebak dalam rutinitas tanpa tujuan. Seperti bajingan waktu yang terus menggerus hari tanpa jejak.
Saya teringat satu kalimat Chairil: hidup hanya menunda kekalahan. Tapi mungkin yang lebih menyakitkan adalah hidup yang menunda kebahagiaan.
Hari mencari solusi bukan di rumah sakit jiwa, tapi di komunitas petani, di kelompok perawatan taman kota, di ruang di mana orang mendengarkan tanpa menghakimi.Â
Di sana, penyembuhan bukan dimulai dari obat, tapi dari pelukan. Dari satu tangan yang memegang tangan lain, dari satu kalimat yang mengatakan: "Kamu tidak sendiri."
Tentu, sains tak perlu disangkal. Ada orang yang memang membutuhkan bantuan medis. Tapi jika penyebab luka adalah sistem yang membuat manusia merasa seperti mesin---mengukur diri dari produktivitas, mencintai diri hanya jika berhasil---maka penyembuhan tak bisa datang dari resep dokter saja.
Di halaman-halaman itu, saya membaca satu pertanyaan yang lama saya simpan: apa yang membuat manusia merasa hidup?
Jawabannya bukan kekayaan. Bukan juga prestasi. Tapi rasa dimiliki dan memiliki. Bahwa ada yang menunggu kita pulang. Bahwa suara kita didengar, meskipun lirih. Bahwa kita tak sekadar ada, tapi berarti. Bahwa ketika kita hilang, seseorang akan mencari. Dan bukan karena kita berguna, tapi karena kita dicinta.
Dalam dunia yang semakin sibuk dan asing, kita hidup dalam apa yang disebut Hari sebagai "pengasingan massal." Kita punya seribu koneksi internet, tapi kehilangan koneksi manusia.Â
Kita menyapa lewat emoji, tapi lupa menatap mata. Kita membagikan foto makanan, tapi makan dalam diam. Kita tertawa dalam story, tapi menangis dalam tidur.
Kita hidup di zaman di mana suara terdengar lebih nyaring di luar, tapi semakin sunyi di dalam.