Ada masa di mana manusia tidak lagi menangis. Bukan karena ia tak sedih, melainkan karena air matanya telah lama menguap. Ia hidup, berjalan, bekerja, tertawa---tapi seperti aktor yang lupa bahwa panggung telah kosong.Â
Maka hidup menjadi rutinitas yang tak menumbuhkan, hanya mengulang. Seperti pintu yang dibuka dan ditutup tanpa maksud.
Depresi, kata Johann Hari, bukan sekadar kemurungan. Ia bukan sekadar kekurangan serotonin di otak. Ia adalah kehilangan. Lebih dari kehilangan cinta, ia adalah kehilangan arah. Kehilangan makna. Kehilangan koneksi dengan dunia di luar dan di dalam diri.
Saya membaca buku Lost Connections dengan perasaan seperti sedang menatap potret lama: samar, tapi akrab.Â
Sedangkan di dalamnya ada wajah-wajah yang saya kenal: seorang wanita yang selalu hadir dalam rapat tapi tak pernah benar-benar hadir dalam hidupnya; seorang pria yang bangun pagi hanya untuk kembali ingin tidur; seorang anak muda yang menulis puisi dengan darah diam-diam, berharap ada yang membaca, berharap ada yang peduli.
Johann Hari menulis bukan sebagai orang suci yang datang dari menara gading, tapi sebagai orang yang pernah terpuruk.Â
Ia menulis sebagai orang yang, seperti banyak dari kita, pernah mengira bahwa rasa sakit hanya perlu ditekan dengan obat, ditahan dengan pil, ditangguhkan dengan jargon medis.Â
Tapi, seperti juga banyak dari kita, ia kemudian sadar bahwa luka itu bukan hanya soal kimia dalam otak, tapi juga tentang jarak. Tentang sesuatu yang hilang dari jalinan hidup manusia modern.
Ia menyebutnya sebagai "disconnection." Pemutusan hubungan. Bukan hanya dengan orang lain, tapi dengan pekerjaan yang bermakna, dengan alam, dengan nilai-nilai, dengan masa kecil yang dulu ia cintai tapi kini terasing.Â